TERBARU

EnergiInternasional

Eropa Habiskan Uang Rp12.000 Triliun Atasi Krisis Energi Sejak 2021

image_pdfimage_print

Orinews.id|Banda Aceh – Negara-negara Eropa menghabiskan dana 792 miliar euro untuk menangani Krisis energi sejak September 2021. Jumlah ini setara US$846 miliar atau Rp12.690 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu per dolar AS).

Anggaran ini dipakai untuk melindungi rumah tangga dan perusahaan dari lonjakan biaya energi akibat disetopnya pasokan energi dari Rusia.

Advertisements
DPRA - ISRA MI'RAJ

Dikutip dari Reuters, lembaga analis Bruegel mengatakan nilai belanja ini naik dibandingkan proyeksi mereka pada November 2022, yakni 706 miliar euro. Hal itu dirilis dalam laporan mereka yang terbit hari ini, Senin (13/2).

Anggarannya terus bertambah lantaran persiapan negara-negara di Benua Biru melewati musim dingin seiring disetopnya pengiriman gas dari Rusia ke Eropa pada 2022, setelah negara tersebut terlibat perang dengan Ukraina.

Advertisements
BANK ACEH - ISRA MI'RAJ

Jerman menjadi negara dengan pengeluaran energi terbesar, hampir 270 miliar euro. Inggris, Italia dan Prancis masing-masing merogoh kurang dari 150 miliar euro. Negara lainnya menghabiskan anggaran belanja yang lebih sedikit.

Jika dihitung, alokasi Eropa untuk mengatasi krisis energi ini setara dengan dana pemulihan covid-19 Uni Eropa sebesar 750 miliar euro pada 2020.

Jumbonya belanja energi ini menghangatkan kembali debat soal proposal Uni Eropa terkait bantuan negara bagi mereka bagi perusahaan yang mendorong proyek teknologi hijau. Beberapa analis meminta aturan ini dilonggarkan agar tidak mengganggu pasar internal Eropa.

BACA JUGA
Polemik Rumoh Geudong, Tokoh Masyarakat Pidie: Tak Ada Bangunan yang Dihancurkan

Jerman menjadi negara yang dikritik paling keras atas paket bantuan energi jumbonya, yang jauh melampaui kemampuan negara-negara Eropa lainnya.

Analis Bruegel Giovanni Sgaravatti mengatakan negara Eropa memfokuskan sebagian besar bantuannya pada langkah-langkah yang tidak ditargetkan untuk mengendalikan harga energi di tingkat end user, seperti pemotongan PPN pada harga bensin atau listrik.

Menurut lembaga itu, kebijakan ini perlu diubah karena negara akan kehabisan ruang fiskal untuk mempertahankan pendanaan sebesar itu.

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.