ORINEWS.id – Buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kasus korupsi megaproyek e-KTP, Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin, berhasil tertangkap di Singapura.
Menurut mantan penyidik senior KPK, Praswad Nugraha, Negeri Singa itu kini bukan lagi surga para koruptor.
“Hal ini merupakan pesan kepada seluruh buronan yang melarikan diri ke Singapura, bahwa mereka sudah tidak lagi menjadi pihak yang tidak tersentuh hukum,” kata Praswad dalam keterangannya, Senin (27/1/2025).
“KPK sudah bisa menangkap dan mengejar mereka meskipun adanya perbedaan jurisdiksi hukum berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2023 yang mengesahkan Ekstradisi Treaty between Indonesia and Singapore,” imbuhnya.
Praswad mengapresiasi KPK karena telah berhasil menggunakan perjanjian ekstradisi yang akhirnya disepakati antara pemerintah Indonesia dan Singapura. Kata Praswad, hal ini jadi yang pertama kalinya.
“Meskipun sempat terhambat proses penangkapan di Bangkok pada tahun 2023, namun tidak membuat semangat rekan-rekan penyidik menjadi surut,” katanya.
Di lain sisi, Praswad juga menyoroti perubahan kewarganegaraan Paulus Tannos yang semula Indonesia menjadi Guinnes Bissau, salah satu negara di Afrika Barat.
Praswad menilai upaya perubahan status warga negara yang dilakukan Paulus Tannos dapat dikategorikan perbuatan pidana tersendiri, yakni Pasal 21 terkait upaya menghalang-halangi penyidikan.
Menurut Praswad, tindakan Tannos yang berusaha kabur dan buron serta merubah status kewarganegaraan setelah melakukan tindak pidana di Indonesia adalah tindak pidana berlapis selain tindak pidana korupsi e-KTP yang telah dilakukan olehnya.
“Paulus Tannos saat melakukan tindak pidana korupsi e-KTP berstatus sebagai WNI dan tindak pidana korupsi tersebut dilakukan di wilayah Indonesia, maka berlaku asas nasionalitas aktif, tidak perduli apapun status warga negaranya sekarang,” ujarnya.
Saat ini Paulus Tannos sedang ditahan sementara di Changi Prison Singapura. Proses persidangan ekstradisi Tannos masih berjalan.
Sesuai perjanjian ekstradisi antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Singapura Pasal 7 huruf (5), Indonesia memiliki waktu 45 hari sejak dilakukannya penahanan sementara (sejak 17 Januari 2025) untuk melengkapi syarat ekstradisi.
Peran Paulus Tannos dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan Indonesia sebanyak Rp2,3 triliun ini diketahui cukup banyak.
Salah satunya melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor, termasuk dengan tersangka Husmi Fahmi dan Isnu Edhi Wijaya.
Wakil Ketua KPK pada 2019, Saut Situmorang, mengatakan Paulus bersama Husmi dan Isnu bertemu di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan
“Padahal HSF dalam hal ini adalah Ketua Tim Teknis dan juga panitia lelang,” ujar Saut.
Paulus, Husmi, dan Isnu kemudian melakukan pertemuan lanjutan dalam waktu 10 bulan dan menghasilkan beberapa output.
Di antaranya, standard operasional prosedur (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis.
Hasil-hasil tersebut kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) pada 11 Februari 2011.
Pihak yang menetapkan HPS adalah Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Tersangka PLS (Paulus) juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem dan tersangka ISE untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar lima persen, sekaligus skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri,” kata Saut.
Pembagian fee korupsi e-KTP
Lewat skema pembagian fee, PT Sandipala Arthaputra bertanggung jawab memberikan fee kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melalui adiknya Asmin Aulia sebesar lima persen dari nilai pekerjaan yang diperoleh.
Kemudian, PT Quadra Solution bertugas memberikan fee kepada politikus Golkar, Setya Novanto, sebesar lima persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh.
Di sisi lain, Perum PNRI memiliki tugas untuk memberikan fee kepada Irman dan stafnya sebesar lima persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh.
Saut menjelaskan, keuntungan bersih masing-masing anggota konsorsium setelah dipotong pemberian fee tersebut adalah sebesar 10 persen.
Setya Novanto dan politikus Golkar, Chairuman Harahap, kemudian menagih komitmen fee yang sudah dijanjikan sebesar lima persen dari nilai proyek.
Atas penagihan tersebut, Andi Agustinus dan Paulus berjanji untuk segera memberikan fee setelah mendapatkan uang muka dari Kemendagri. Namun, Kemendagri tidak memberikan modal kerja.
Hal ini mendorong Paulus, Andi Agustinus, dan Johannes Marliem selaku penyedia sistem AFIS L-1 bertemu dengan Setya Novanto.
Setya Novanto kemudian memperkenalkan orang dekatnya, yaitu Made Oka Masagung yang akan membantu permodalannya.
Sebagai kompensasinya dalam kesempatan itu, juga disepakati fee yang akan diberikan kepada Setya Novanto melalui Made Oka.
“Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, PT Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp145,85 miliar terkait proyek KTP elektronik ini,” ujar Saut.[]