ORINEWS.id – Polemik seputar kepemimpinan di Bank Aceh Syariah terus memanas. Rekomendasi dari Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang meminta Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Safrizal ZA untuk mengembalikan Muhammad Syah sebagai Direktur Utama dan Zulkarnaini sebagai Direktur Operasional memicu perdebatan di ranah publik.
Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik, Dr. Taufik Abdul Rahim, ikut angkat bicara mengenai situasi tersebut dan menyarankan agar persoalan ini tidak ditarik ke ranah politik.
Menurutnya, Bank Aceh merupakan lembaga profesional dengan prinsip “profit oriented” yang seharusnya dijalankan sesuai dengan standar perbankan yang berlaku, bukan dipengaruhi oleh kepentingan politik.
“Kita tidak bisa menggunakan logika politik dalam pengelolaan lembaga profesional seperti Bank Aceh,” tegas Dosen Fakultas Ekonomi Unmuha kepada ORINEWS.id di Banda Aceh, Selasa (2/9/2024).
Taufik menambahkan, gonta-ganti direksi di sebuah institusi perbankan bukanlah hal yang sederhana dan bisa berimplikasi pada ketidakstabilan dan keseimbangan kinerja bank tersebut.
Karena itu, lanjut Taufik, meskipun pergantian direksi sebelumnya ada unsur dan kepentingan politik Penjabat Gubernur Aceh terdahulu, tetapi saat ini jangan lagi diseret-seret dalam pusaran, skema, kepentingan politik antara ekskutif dan legislatif (Pj. Gubernur Aceh dan DPRA) saat ini.
“Seharusnya, kepentingan politik dan ekonomi tidak dicampuradukkan dalam pengelolaan Bank Aceh. Ini hanya akan merusak kinerja dan stabilitas bank ke depan,” jelasnya.
Kendati demikian, Taufik mengakui Bank Aceh selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh kalangan tertentu. Menurutnya, meskipun bank tersebut berlabel “milik rakyat Aceh” itu semua “nonsences”, kenyataannya hanya segelintir pihak yang merasakan manfaat langsung.
“Karena yang menikmati hasil Bank Aceh selama ini adalah pemilik modal (saham), yaitu pemerintah Aceh, kabupaten/kota pada level pengambil kebijakan dan pemangku kekuasaan pada tingkatan satu dan dua. Kemudian, PNS/ASN dan pengusaha atau kontraktor,” jelasnya.
Taufik menekankan, Bank Aceh sejauh ini belum memberikan dampak signifikan pada perekonomian rakyat kecil, terutama sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), ekonomi informal, serta sektor-sektor lain yang menopang ekonomi masyarakat akar rumput.
Ia juga menyebutkan, sektor-sektor seperti pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan belum banyak tersentuh oleh kebijakan dan program Bank Aceh.
Karena itu, Taufik memperingatkan, polemik terkait kepemimpinan di Bank Aceh Syariah, jika dibiarkan berlarut-larut, bisa berdampak buruk pada kinerja bank itu sendiri.
“Sebagai salah satu bank yang melakukan praktik “Single Banking” di Aceh, jika masalah ini tidak ditangani dengan bijaksana, dikhawatirkan bisa mengganggu operasional Bank Aceh,” ujarnya.
Taufik mengajak semua pihak untuk bersikap lebih bijaksana dalam menyikapi persoalan ini. Ia menekankan, pengelolaan Bank Aceh sebaiknya tidak dicampuri oleh kepentingan politik.
“Jangan sampai urusan penggantian direksi ini menjadi alat permainan politik. Ini hanya akan memperburuk keadaan,” pungkasnya.
Meski Bank Aceh dianggap belum mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian rakyat Aceh secara keseluruhan, terutama di sektor-sektor informal, keberadaan bank tersebut masih dianggap penting oleh sebagian kalangan, terutama kalangan elite politik dan ekonomi di Aceh. Bank Aceh dinilai lebih banyak berperan dalam mendukung program-program pemerintah dan proyek-proyek besar yang melibatkan pejabat serta pengusaha besar.
Namun, Taufik juga mengingatkan, peran Bank Aceh harus diperluas agar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Jika tidak, maka Bank Aceh hanya akan terus menjadi alat bagi kepentingan segelintir elite politik dan ekonomi di Aceh.[]