ORINEWS.id – Tokoh masyarakat Desa Muncung, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, Haji Jabir menceritakan upaya intimidasi yang dilakukan pihak pengembang PIK 2, Agung Sedayu Group, agar para warga mau menjual tanah mereka dengan harga murah.
Ia menyebutkan, pengembang biasanya menggunakan perantara seperti calo dan orang-orang yang ia sebut sebagai preman untuk mendekati warga, termasuk juga dirinya.
“Saya diminta jual tanah (empang dan sawah) seharga Rp50 ribu per meter, tapi yang datang itu bukan pembeli langsung. Mereka pakai calo, bahkan ada yang datang malam-malam pakai masker. Bahasanya enggak maksa, tapi begini, ‘Pak Haji, ada yang belum dijual emangnya?’ Saya bilang, saya enggak mau jual Rp50 ribu. Masa segitu, mau beli apa? Itu harga yang enggak masuk akal,” ujar Haji Jabir kepada Inilah.com, Tangerang, Selasa (14/1/2025).
Menurut Jabir, orang-orang yang mendatangi warga tak segan mengaku bertugas sebagai perantara. Mereka dijanjikan imbalan jika berhasil meyakinkan atau menekan pemilik tanah untuk menjual lahan mereka.
“Kadang saya tanya, ‘Ente yang mau beli?’ Mereka jawab bukan, cuma disuruh sama pihak PIK. Ada yang datang pakai hitam-hitam, ada juga yang bawa notaris. Tapi siapa mereka sebenarnya, kami enggak tahu,” ungkap Jabir.
Jabir menuturkan, meski tidak ada ancaman fisik secara langsung, namun kehadiran mereka saja telah memberikan tekanan dan keresahan bagi warga sekitar.
“Mereka mungkin bukan preman dalam arti sebenarnya, tapi bagi kami yang didatangi seperti itu, ya, rasanya seperti diintimidasi,” katanya.
Dia mengungkapkan sempat memiliki beberapa petak sawah, tapi kini sudah diuruk untuk kepentingan proyek PIK 2. Selain itu, empang miliknya juga terdampak, lantaran adanya pengurukan anak sungai yang menjadi salah satu sumber penghidupan warga sekitar.
“Tambak saya enam meter terdampak pengurukan juga. Empang nya sih enggak saya jual, tapi mereka timbun kalinya dulu. Saya enggak mau jual empang saya, orang dibeli murah. Ntar saya usaha gimana? Saya butuh makan,” ucap dia
Bagi Jabir, penimbunan anak sungai ini bukan sekadar soal tambak atau sawah milik pribadi, melainkan menyangkut keberlangsungan hidup seluruh warga desa.
“Jangankan tambak, rumah-rumah di sini katanya juga mau digusur. Mereka seperti nakut-nakuti. Yang datang ke sini macam-macam, ada yang ngaku bagian lapangan dari PIK. Bahkan ada yang bukan orang sini, kayak potongan Chinese, bilangnya dari pengembang. Tapi benar atau enggaknya kita enggak tahu,” imbuhnya.