TERBARU

Opini

Pengaruh Ketinggian Terhadap Tekanan Darah

image_pdfimage_print

*Oleh: dr. Zakiaturrahmi, M. Kes., AIFO-K

Permukaan pada bumi dibagi menjadi dua bagian utama yaitu perairan dan daratan. Daratan dibagi berdasarkan ketinggian dari permukaan laut yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Bentang alam dunia terdiri dari dua komponen utama, yaitu perairan dan daratan. Sebuah wilayah dikategorikan sebagai dataran tinggi jika memiliki ketinggian di atas permukaan laut mencapai 700 meter atau lebih, sementara dataran rendah adalah wilayah dengan ketinggian di bawah 200 meter dari permukaan laut. 

Pada ketinggian yang lebih tinggi, tekanan atmosfer menurun, yang menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam udara. Hal ini berdampak pada tubuh manusia karena penurunan oksigen yang tersedia untuk bernapas, yang mengakibatkan penurunan saturasi oksigen dalam darah. Saturasi oksigen normal berada antara 95% hingga 100%, namun pada ketinggian tinggi, saturasi oksigen bisa turun hingga di bawah 90%, yang menunjukkan kekurangan oksigen atau hipoksia.

Tubuh mencoba beradaptasi dengan meningkatkan laju pernapasan dan produksi sel darah merah untuk membawa oksigen lebih banyak ke jaringan. Namun, jika penurunan oksigen terlalu besar dan tubuh tidak dapat beradaptasi dengan cukup cepat, gejala seperti sesak napas, kelelahan ekstrem, kebingungan mental, sakit kepala, dan sianosis (warna biru pada kulit) bisa muncul.

Di ketinggian yang sangat tinggi, kondisi seperti acute mountain sickness (AMS), high-altitude pulmonary edema (HAPE), dan high-altitude cerebral edema (HACE) dapat terjadi akibat kekurangan oksigen yang parah). Ketinggian dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular tubuh, terutama karena penurunan kadar oksigen yang tersedia di udara.

Pada ketinggian, tubuh beradaptasi dengan meningkatkan laju pernapasan dan mempercepat denyut jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang lebih tinggi. Ini menyebabkan peningkatan tekanan darah, yang merupakan respons fisiologis tubuh terhadap hipoksia (kekurangan oksigen). 

Tekanan darah merupakan tekanan yang diukur dalam pembuluh darah arteri besar dalam peredaran darah sistemik, yaitu aliran darah yang mengalir ke seluruh tubuh. Tekanan darah terdiri dari dua jenis utama: tekanan darah sistolik dan diastolik. Tekanan darah sistolik adalah tekanan maksimum dalam arteri besar saat otot jantung berkontraksi untuk memompa darah ke seluruh tubuh, sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan minimum dalam arteri besar saat otot jantung rileks di antara detak jantung.

Menurut World Health Organization (WHO) tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg. Angka 120 hhmHg menunjukkan tekanan sistolik, yaitu tekanan saat jantung memompa darah ke seluruh tubuh. Sementara angka 80 mmHg menunjukkan tekanan diastolik, yaitu tekanan saat otot jantung relaksasi dan menerima darah yang kembali dari seluruh tubuh. 

Tekanan darah dapat mencapai prahipertensi jika angkanya di atas 120/80 mmHg hingga 139/89 mmHg. Kondisi prahipertensi memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung koroner dan stroke. Tekanan darah dianggap hipertensi jika angkanya di atas 140/90 mmHg. 

Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan melalui tiga metode utama: manual, otomatis, dan pemantauan invasif. Pada pengukuran manual, yang merupakan metode tradisional, digunakan sphygmomanometer, yaitu manset yang dipompa dan dilepas perlahan sambil mendengarkan suara aliran darah di lengan. Metode kedua, menggunakan alat otomatis, lebih mudah karena alat ini mengukur tekanan darah tanpa perlu mendengarkan suara. Alat otomatis menggunakan sensor getaran untuk mendeteksi aliran darah, sehingga cocok untuk penggunaan di rumah.

Sementara itu, pemantauan invasif, yang paling akurat, melibatkan pemasangan alat langsung ke dalam arteri untuk pemantauan tekanan darah terus-menerus. Namun, metode invasif ini biasanya hanya digunakan di rumah sakit atau saat operasi karena risikonya yang lebih tinggi. Secara umum, metode manual dan otomatis adalah yang paling sering digunakan, sementara pemantauan invasif terbatas pada kondisi medis tertentu.

Berbagai faktor, baik internal maupun eksternal, dapat mempengaruhi tekanan darah seseorang. Salah satu faktor utama yang dapat menyebabkan hipertensi adalah konsumsi garam berlebihan. Asupan garam yang tinggi dapat menyebabkan tubuh menahan lebih banyak cairan, meningkatkan volume darah dan tekanan pada dinding pembuluh darah, sehingga berisiko meningkatkan tekanan darah. Respons tubuh terhadap garam ini sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, di mana individu dengan riwayat keluarga hipertensi memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami peningkatan tekanan darah jika asupan garam berlebihan.

Selain itu, ketinggian juga dapat mempengaruhi tekanan darah seseorang karena penurunan kadar oksigen di udara pada ketinggian tinggi. Kekurangan oksigen ini memicu respons tubuh untuk meningkatkan tekanan darah guna memastikan oksigen cukup didistribusikan ke seluruh tubuh, terutama di jaringan vital.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit jantung koroner atau gagal jantung yang stabil, paparan hingga ketinggian 3000 meter biasanya tidak menyebabkan peningkatan risiko yang signifikan. Namun, pasien dengan gangguan sirkulasi tertentu, seperti shunt kanan-ke-kiri (misalnya pada pasien dengan PFO atau penyakit jantung kongenital sianotik), lebih rentan terhadap efek buruk di ketinggian karena tekanan pada arteri pulmonalis yang meningkat dan kondisi hipoksia yang memburuk.

Oleh karena itu, pemantauan ketat dan pengelolaan kondisi kesehatan sangat penting bagi pasien yang berisiko, dan ada baiknya untuk membatasi paparan mereka ke ketinggian tinggi sesuai dengan kondisi medis yang ada. Peningkatan denyut jantung dan tekanan darah ini diperlukan untuk meningkatkan aliran darah ke organ vital, tetapi juga meningkatkan beban pada jantung. Bagi pasien dengan penyakit jantung tertentu, seperti aritmia atau hipertensi pulmonal, peningkatan beban ini bisa berisiko, terutama di ketinggian di atas 2500 meter. 

Mekanisme fisiologis perubahan tekanan darah pada ketinggian terjadi pada kondisi hipoksia hipobarik, tekanan udara atau tekanan barometrik berkurang secara signifikan. Meskipun persentase oksigen dalam udara (FiO₂) tetap sama seperti di permukaan laut, jumlah oksigen yang dapat dihirup berkurang karena tekanan parsial oksigen (PiO₂) ikut menurun. Tubuh merespons kondisi ini dengan berbagai mekanisme untuk mengatasi kekurangan oksigen yang mendadak. Salah satu respons utamanya adalah meningkatkan aliran darah dan frekuensi pernapasan, sehingga lebih banyak oksigen dapat didistribusikan ke jaringan vital.

Selain itu, tubuh mengatur aliran darah ke area paru-paru yang kaya oksigen melalui vasokonstriksi pulmoner, meskipun hal ini berisiko meningkatkan tekanan pada arteri pulmoner. Jika paparan hipoksia hipobarik berlangsung lama, tubuh beradaptasi dengan meningkatkan produksi sel darah merah dan hemoglobin, melalui proses eritropoiesis, untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dalam darah. Berbeda dengan hipoksia normobarik yang disebabkan oleh penurunan FiO₂, hipoksia hipobarik terjadi karena penurunan tekanan barometrik yang khas pada ketinggian tinggi.

Sistem saraf simpatik memainkan peran penting dalam mempertahankan tekanan darah selama paparan di ketinggian tinggi, tubuh menghadapi hipoksia akibat penurunan tekanan oksigen. Mekanisme utama yang digunakan adalah barorefleks arteri, yang berfungsi sebagai pengatur jangka pendek tekanan darah dengan menyesuaikan aliran simpatis vasomotor dari detak ke detak.

Pada ketinggian, sistem saraf simpatik meningkatkan aktivitasnya, yang ditunjukkan oleh peningkatan burst Muscle Sympathetic Nerve Activity (MSNA) antara 75% hingga 200%. Peningkatan aktivitas ini bertujuan mengimbangi hipoksia dengan meningkatkan vasokonstriksi, membantu mempertahankan tekanan darah meskipun jumlah oksigen yang tersedia menurun. 

Studi menunjukkan bahwa respons barorefleks terhadap hipoksia normobarik berbeda dengan hipoksia hipobarik. Pada hipoksia hipobarik, peningkatan aktivitas MSNA menjadi penyesuaian penting yang memungkinkan tubuh mempertahankan tekanan darah, meskipun respons vasokonstriktor terhadap burst MSNA lebih rendah dibandingkan di permukaan laut.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang telah teraklimatisasi di ketinggian, seperti Sherpa dan masyarakat Andes, menunjukkan respons yang lebih efisien karena memiliki titik operasi MSNA yang lebih tinggi untuk mengimbangi kebutuhan oksigen. Artinya, dalam paparan ketinggian, sistem saraf simpatik meningkatkan aktivitas simpatis melalui barorefleks untuk mengontrol tekanan darah, meskipun terdapat penurunan respons vasokonstriktor akibat berkurangnya sensitivitas reseptor adrenergik karena hipoksia kronis.

Hormon juga memainkan peran penting dalam membantu tubuh beradaptasi dengan hipoksia dan berbagai stressor lingkungan, yang secara tidak langsung membantu mempertahankan tekanan darah. Salah satu hormon utama adalah kortisol, yang diproduksi oleh aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal sebagai respons terhadap stres.

Kortisol berperan meningkatkan tekanan darah dan kadar gula darah, serta mendukung metabolisme energi tubuh. Pada ketinggian, kadar kortisol cenderung meningkat sebagai adaptasi terhadap hipoksia dan stres fisik, membantu tubuh mempertahankan homeostasis.

Selain itu, hormon tiroid seperti tiroksin juga mengalami perubahan. Meskipun bersifat anabolik, aktivitas hormon tiroid dapat menurun di ketinggian sangat tinggi untuk mengurangi pengeluaran energi dan stres metabolik, sebagai respons adaptif untuk mengurangi kebutuhan oksigen. Prolaktin dan hormon pertumbuhan juga menyesuaikan diri, di mana peningkatan prolaktin dapat membantu mengelola stres hipoksia, sementara hormon pertumbuhan mendukung proses anabolik dan pemeliharaan jaringan.

Pada saat seseorang mencapai ketinggian tinggi, tubuh langsung mengalami peningkatan tekanan darah yang dapat berlangsung sepanjang hari, terutama pada malam hari di ketinggian yang sangat tinggi (>5400 m). Peningkatan ini dipengaruhi oleh beberapa mekanisme fisiologis, seperti meningkatnya aktivitas sistem simpatis, pelepasan endotelin, peningkatan kekakuan aorta, gangguan fungsi endotel, dan peningkatan viskositas darah. Di ketinggian, konsentrasi eritropoietin yang meningkat setelah 16 jam turut meningkatkan tekanan darah dengan merangsang produksi sel darah merah, sehingga memperbesar viskositas darah dan tekanan pada dinding pembuluh darah.

Dalam jangka panjang, sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) berperan dalam penyesuaian tekanan darah melalui retensi natrium dan cairan, yang meningkatkan volume darah dan tekanan darah. Angiotensin, yang mempengaruhi otot rangka dan jantung, meningkat di ketinggian tetapi akan menurun ketika kembali ke dataran rendah. Selama aktivitas fisik dalam kondisi hipoksia, penurunan aktivitas enzim angiotensin-converting enzyme (ACE) cenderung menurunkan hubungan antara renin dan aldosteron, yang mengontrol produksi angiotensin II.

Adaptasi lebih lanjut melibatkan perubahan output jantung, meskipun denyut jantung tetap tinggi dalam beberapa hari pertama, curah jantung kembali normal akibat penurunan volume sekuncup, kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya volume plasma. Pada individu yang teraklimatisasi, curah jantung untuk beban kerja tertentu di ketinggian akan sama dengan di permukaan laut, meskipun kapasitas maksimal curah jantung berkurang. 

Berdasarkan hasil penelitian Mallet et al, ditemukan bahwa perubahan tekanan ini disebabkan oleh adaptasi tubuh terhadap perbedaan tekanan oksigen pada berbagai ketinggian, pada ketinggian yang lebih tinggi biasanya memiliki kadar oksigen yang lebih rendah, sehingga tubuh perlu beradaptasi yang mempengaruhi tekanan darah baik sistolik maupun diastolik, oleh karena itu disarankan agar orang yang bepergian ke dataran tinggi, terutama yang memiliki riwayat penyakit hipertensi atau kondisi kesehatan terkait tekanan darah, harus melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin. sebaiknya harus mempersiapkan diri ketika berada di ketinggian untuk mencegah perubahan tekanan darah yang drastis.

Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, dan S2 Ilmu Kedokteran Dasar Universitas Padjadjaran

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.