*Oleh: Tgk Mudas
Satu jam sebelum menyerahkan rekomendasi partainya pada 23 Agustus lalu, Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan atau yang akrab disapa Zulhas mengungkapkan bahwa ia sebenarnya sama sekali tidak mengenal Bustami. Hanya saja, Zulhas mengaku Bustami sempat diendorse oleh beberapa tokoh seperti Abdul Latief dan Farhan Hamid, selebihnya tidak. Namun, ia justru cukup mengetahui dan memiliki kekaguman besar terhadap sosok almarhum Tgk. H. Muhammad Yusuf A Wahab atau Tu Sop.
Bahkan, ketika menyambut keduanya di Widya Chandra, Zulhas menyapa dan merangkul Tu Sop, yang merupakan Pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunieb Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh itu.
“Berkah sekali hari ini, didatangi ulama besar dan legendaris dari Aceh, yang sering saya saksikan di media sosial,” ucap Menteri Koordinasi Pangan Indonesia itu. Zulhas juga heran, jurus apa yang digunakan Bustami sehingga membuat Tu Sop bersedia menjadi wakilnya.
Bergabungnya Tu Sop bersama Bustami membuat sejumlah partai merasa yakin dengan prospek pasangan ini. Dan kemudian mempercepat keluarnya proses rekomendasi partai-partai pendukung, yang sebelumnya nyaris gagal didapatkan Bustami.
Kala itu gelombang dukungan dari masyarakat akar rumput juga terus bermunculan. Elektabilitas Bustami juga ikut terdongkrak. Kalangan dayah menyambut pasangan ini dengan antusias.
Dapat dikatakan kehadiran Tu Sop mengubah eskalasi pilkada, dan memperbesar kans Bustami. Tetapi bagaimana sesungguhnya hubungan keduanya? Apakah kedua tokoh ini memiliki visi yang sama dalam membangun Aceh? Apakah membantu pemenangan Bustami berarti telah ikut memperjuangkan gagasan almarhum Tu Sop?
Bustami Hamzah mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang pada 27 Agustus, setelah lebih dari satu minggu bergerilya di Jakarta untuk mendapatkan rekomendasi dari Partai Amanat Nasional (PAN), NasDem dan Partai Golkar.
Bustami dan rombongan pulang ke Aceh dengan digelayuti oleh suasana euforia kemenangan yang dianggap sebagai kemenangan dramatik babak pertama dalam putaran pilkada Aceh melawan Muzakkir Manaf; dimana ia mampu mengubah arah dukungan Golkar dan berhasil merebut rekomendasi partai itu di detik-detik akhir yang menegangkan, tepat sehari setelah Muzakkir Manaf mengumumkan bahwa ia telah mendapatkan tiket partai berlambang beringin itu.
Saat pulang ke Aceh hari itu, Bustami Hamzah menumpang maskapai Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA140. Pesawatnya berangkat pukul 07.30 pagi dari Bandara Soekarno Hatta, namun Bustami tiba di kabin pesawat dengan tergopoh-gopoh sebagai penumpang paling akhir, ia nyaris terlambat. Meski begitu, wajahnya begitu merekah, tak henti-hentinya ia menebar senyum kepada awak kabin, para penumpang dan sejumlah koleganya yang sudah terlebih dulu tiba.
Dalam pesawat itu, Bustami duduk di kelas bisnis sendirian. Dia diapit oleh kursi yang sekelilingnya lowong. Sementara di pesawat yang sama Tu Sop justru duduk dalam kelas ekonomi di kursi 37J. Tu Sop sempat berdiri dari tempat duduknya, hendak melambai Bustami yang melangkah ke dalam kabin dengan kehebohan ucapan selamat dan riuh tawa rombongannya. Tu Sop seperti ingin duduk bersama Bustami, berbicara tentang ide, gagasan pembangunan Aceh dan menyelami pikiran masing-masing dalam perjalanan udara selama 2 jam 55 menit.
Tetapi Bustami sama sekali tidak menoleh, meski ia tau bahwa Tu Sop menumpang pesawat yang sama dengan dirinya. Bustami melewatkan waktu yang paling berharga untuk berdiskusi berdua dengan Tu Sop, sebab setelahnya mereka berdua tidak punya waktu lagi untuk diskusi yang reflektif. Begitu tiba di Banda Aceh, mereka berpacu dengan persiapan administratif pendaftaran dan tiap hari harus menerima banyak tamu hingga larut malam.
Kenyataan bahwa kedua tokoh ini pulang dengan pesawat yang sama, namun duduk di kelas yang berbeda, menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak punya chemistry. Sekaligus menampakkan cara Bustami memperlakukan Tu Sop, sosok yang telah ikut memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap kandidasinya di pilkada Aceh. Sebuah perlakuan yang tidak ramah, yang tak mencerminkan persahabatan dan kepercayaan.
Peristiwa tempat duduk di dalam pesawat ini merupakan awal ketidakterlibatan Tu Sop secara substantif dalam agenda pemenangan pasangan ini. Dua hari menjelang tes kesehatan, Tu Sop memanggil beberapa orang kepercayaan Bustami untuk mendiskusikan visi-misi pasangan ini yang akan didaftarkan ke KIP Aceh.
Sebelumnya Tu Sop cukup terkejut saat mengetahui ternyata visi-misi mereka telah disusun, dan sudah disebarkan secara luas di media sosial tanpa sepengetahuannya. Apalagi di dalam visi misi yang beredar itu, tidak ada satu kata Syariat pun, sebagai bentuk kehadiran dirinya atas nama ulama dan representasi kalangan dayah di pilkada Aceh kali ini.
Tu Sop kemudian meminta agar visi misi disusun dan dikaji ulang, dengan melibatkan dirinya dan tim litbang lintas dayah. Namun hingga Tu Sop menghembuskan nafas terakhirnya pada sabtu pagi 07 September, gagasan Tu Sop agar visi misi itu diubah tak pernah direspon oleh kubu Bustami. Dan seperti yang kita lihat, visi misi yang tak direstui Tu Sop itulah yang kemudian didaftarkan oleh Bustami ke KIP Aceh.
Praktis interaksi Tu Sop dengan Bustami berlangsung singkat, hanya 17 hari. Yaitu sejak pertemuan pertama mereka sebagai pasangan cagub dan cawagub di pendopo gubernur pada 20 Agustus hingga 06 September, setelahnya pada 07 September Tu Sop menghadap Ilahi.
Lewat interaksi yang sesingkat itu, dengan beberapa insiden yang tak mengenakkan antara kedua tokoh ini, bagaimana mungkin gagasan-gagasan Tu Sop yang telah dirajut cukup lama dapat dipahami dan diperjuangkan Bustami.
Kecuali itu hanya propaganda politik dan menjadi penghinaan atas perjuangan keummatan Tu Sop sepanjang hidupnya. Justru dengan tidak memilih Bustami berarti kita sedang memperjuangkan gagasan-gagasan Tu Sop.
Dalam sebuah pertemuan terbatas dengan alumni lintas dayah, jauh-jauh hari Tu Sop seperti memberi isyarat bahwa gagasan utamanya tentang; memperkuat orang baik dan memperbaiki orang kuat, adalah suatu manifesto tentang mengawinkan orang dayah sebagai kaum yang lemah dengan mantan kombatan sebagai pihak yang kuat.
Penulis adalah Alumni Dayah Mudi Mesra Samalanga dan Ketua Koordinator Kawom Dayah Aceh