ORINEWS.id – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengkritik permintaan maaf yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Tahunan MPR-DPR di kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat (16/8/2024).
Usman mencatat dalam pidatonya, Jokowi menyampaikan keberhasilan pembangunan, hilirisasi nikel, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, UU Hukum Pidana yang baru dan menutupnya dengan pernyataan pribadi yang bersifat permohonan maaf.
Menurutnya, bila dibaca secara hati-hati Jokowi menyampaikan semacam permohonan maaf atas kesalahan yang tidak dijelaskan.
Hal itu disampaikannya dalam acara bertajuk Refleksi 79 Tahun Kemerdekaan: Pembangunan Untuk Siapa? di kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta Pusat pada Jumat (16/8/2024).
“Yang ia jelaskan adalah keberhasilan-keberhasilan. Semuanya adalah tindakan-tindakan yang dalam pandangan presiden adalah tindakan yang benar. Tapi di akhir ia meminta maaf,” kata Usman disiarkan di kanal Youtube Amnesty International Indonesia.
“Pertanyaannya kan sebenarnya, maaf untuk kesalahan apa? Kesalahan yang mana? Dan dia mengawali pernyataan maafnya itu dengan mengatakan saya menyadari sebagai pribadi, dan bukan sebagai presiden,” sambung dia.
Ia pun turut mengkritik elit Politik yang menganggap permintaan maaf Jokowi sebagai sikap kenegarawanan sejati.
Padahal menurutnya, bila dibaca dengan cermat permintaan maaf Jokowi adalah pernyataan pribadi.
Seorang negarawan sejati, menurutnya adalah seorang pemimpin yang mengakui kesalahannya dan mengakui apa yang gagal ia penuhi.
Menurut Usman, Jokowi tidak mengakui kegagalannya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi 7 persen sebagaimana dijanjikannya dulu.
Mengacu pada skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 10 tahun terakhir, Usman juga mengatakan, Jokowi tidak menyebutkan kegagalannya dalam memberantas korupsi.
Selain itu, kata dia, Jokowi juga tidak menjelaskan kegagalannya dalam menjaga demokrasi yang merosot tajam.
Lanjut dia, Jokowi tidak menjelaskan kegagalannya tentang bagaimana kebebasan berekspresi mengalami penyempitan.
Jokowi, kata dia, juga tidak menyebutkan kegagalan-kegagalannya dalam memenuhi janji untuk memperkuat KPK karena yang terjadi menurutnya adalah pelemahan KPK.
“Dia tidak menjelaskan kegagalan dia, kesalahan dia, dalam menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu yang ia janjikan berkali-kali,” kata Usman.
“Jadi pidato yang hari ini kita dengarkan, pidato yang kosong karena tidak ada pengakuan atas kegagalan atau kelemahan sekalipun yang pernah ia janjikan untuk dipenuhi,” sambung dia.
Usman juga mengungkit sejumlah peristiwa di mana seharusnya Jokowi meminta maaf.
Peristiwa tersebut, kata dia, di antaranya adalah tewasnya 16 pekerja saat kebakaran tungku smelter di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang berada di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada Desember 2023 lalu.
“Jadi saya kira meminta maaf itu kan mengandaikan ada subyek yang katakanlah dimaafkan. Dan subyek yang dimaafkan itu hanya bisa diketahui kalau ada kesalahan yang diidentifikasi dan diakui, baru ia minta maaf,” kata dia.
“Dan saya kira seluruh yang tadi saya uraikan tentang indeks demokrasi yang merosot, indeks kebebasan berpendapat yang merosot, indeks rule of law yang juga merosot, indeks persepsi korupsi yang merosot, itu seluruhnya adalah realitas yang seharusnya ia akui kalau ia benar-benar seorang negarawan,” sambung dia.
Padahal menurutnya Jokowi punya pilihan lain.
Menurutnya, dalam pidatonya Jokowi bisa menjelaskan bahwa Indonesia memang mengalami regresi demokrasi, tapi bukan satu-satunya di dunia.
Karena menurutnya, memang banyak juga negara mengalami regresi demokrasi.
“Tapi itu tidak dia lakukan. Dan hal yang paling fundamental dalam sudut pandang hak asasi manusia adalah memberikan keadilan untuk para korban dan keluarga korban, dan itu tidak dia lakukan,” kata dia.
Usman juga mencatat, pembangunan di masa pemerintahan Jokowi yang diklaim sebagai pembangunan yang berhasil lebih mencerminkan keberhasilan yang semu.
Hal tersebut, kata dia, karena seluruh agenda pembangunan yang diutamakan oleh Jokowi misalnya terkait proyek strategis nasional atau pembangunan Ibu Kota Negara lebih bersifat elitis.
“Bukan pembangunan yang benar-benar berangkat dari kepentingan masyarakat,” kata dia.
Minta Maaf 4 Kali
Jokowi meminta maaf menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai Presiden RI pada saat Sidang Tahunan MPR-DPR di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta pada Jumat (16/8/2024).
Tercatat, Jokowi mengucapkan maaf empat kali dalam pidatonya.
Awalnya, dia mengakui 10 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan kekurangan.
Jokowi juga menyadari kemungkinan dirinya alpa ketika menjadi presiden.
Untuk itu, ia mengucapkan permintaan maaf di akhir menjelang masa jabatannya sebagai Presiden RI berakhir.
“Oleh sebab itu, di penghujung masa jabatan ini, izinkan saya menyampaikan suara nurani terdalam kepada Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, kepada seluruh rakyat Indonesia, tidak terkecuali satu pun,” kata dia.
Selanjutnya, Jokowi mengucapkan empat kali permintaan maaf atas nama dirinya dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
“Saya dan Prof Dr KH Maruf Amin mohon maaf. Mohon maaf untuk setiap hati yang mungkin kecewa, untuk setiap harapan yang mungkin belum bisa terwujud, untuk setiap cita-cita yang mungkin belum bisa tergapai,” ujar Jokowi.
“Sekali lagi, kami mohon maaf. Kami mohon maaf. Ini adalah yang terbaik, yang bisa kami upayakan bagi rakyat Indonesia, bagi bangsa dan negara Indonesia,” sambung Jokowi diiringi tepuk tangan peserta sidang.[]