*Oleh: M. Suhelmi
Provinsi Aceh menjadi salah satu provinsi dengan angka konsumtif tertinggi di Indonesia.
Merujuk pada data BPS 2022, terdapat sekitar Rp1.225.976.000 pengeluaran masyarakat per bulan. Data ini merupakan sebuah anomali atas keberlangsungan pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, angka ini memiliki acuan perbandingan pada angka kemiskinan Aceh yang masih tinggi.
Perilaku konsumtif ini telah lama menjadi fenomena yang akan berimbas pada angka ekonomis yang didasarkan pada pendapatan dan pertumbuhan ekonomi.
Senada dengan yang diungkapkan Suci Lailani (2022) dalam Jurnalnya yang berjudul Analisis Pendapatan dan Jumlah Penduduk terhadap Tingkat Konsumsi di Provinsi Aceh.
Dia menjelaskan bahwa tingkat konsumsi pada setiap masyarakat pada ujungnya akan berdampak pada keadaan dan kondisi ekonomi mikro maupun ekonomi makro. Perubahan pola dari gaya hidup masyarakat mengikuti seberapa besar pengaruh pendapatan yang diterimanya dari hasil usaha yang mereka lakukan.
Secara teori maupun realita lapangan, prilaku ini memiliki kecenderungan negatif terhadap kehidupan individu.
Sehingga mampu mendorong seseorang untuk menciptakan ketidakseimbangan tersendiri dalam hal materil dan perilaku. Contohnya, berdasarkan data dari BPS diatas, kalangan yang menjadi dominasi atas perilaku tersebut adalah kalangan anak muda.
60 persen dari total kalangan muda memiliki sifat konsumtif yang mengakibatkan ketimpangan berupa angka pengeluaran lebih besar daripada pendapatan.
Kekacauan ini mengganggu economic flow yang semestinya terjalankan dengan rentetan aliran ekonomi yang seimbang.
Berbagai pengembangan telah dilakukan oleh otoritas selaku legal decision maker yang pastinya memiliki tanggung jawab secara ide dan pelaksanaan. Namun,
Terwujudnya antithesis atas perilaku konsumtif adalah tantangan yang harus dibenahi secara serius dalam jangka pendek, menengah, dan panjang guna menampik unbalancing concept atau ketimpangan yang terjadi.
Fenomena ini juga terjadi di berbagai daerah tingkat kabupaten/kota. Salah satunya adalah Kabupaten Aceh Selatan.
Mengutip data turunan diatas, Aceh Selatan memiliki angka pengeluaran konsumsi sebesar Rp651.640.000 per bulan. Rata-rata tersebut memang memiliki nilai positif atas garis kemiskinan dalam bentuk rupiah sebesar Rp157.075.000.
Akan tetapi, dengan tren penurunan yang terjadi beberapa tahun terakhir mengakibatkan ancaman kemiskinan akan menjadi delik pasti yang tak bisa disingkirkan. Hal ini didasari pada unsur non-mekanistik yang meliputi variable eksternal seperti ketersediaan lapangan pekerjaan, Indeks SDM, serta lain-lain.
Tagar “Menuju Aceh Selatan Produktif”
Menariknya, di tengah pergolakan saat ini yang juga bertepatan dengan tahun politik, ada kontestan Pilkada Aceh Selatan yang sangat fokus terhadap isu dan fenomena-fenomena ekonomi yang sebelumnya penulis telah jelaskan.
Tentunya ini menjadi angin segar atas segala problem perekonomian yang menjangkiti melalui semboyan politiknya yakni “Menuju Aceh Selatan Produktif”. Beliau adalah H. Mirwan, sosok yang lahir dan besar di daerah dengan julukan ‘Negeri Pala’ ini juga merupakan kontestan dalam Pilkada Aceh Selatan 2024 mendatang.
Dia dikenal dengan bakal calon yang membawa sebuah motivasi progresif dalam menjawab tantangan perekonomian ekstraktif dan produktif masa kini.
Menurut hemat penulis, H. Mirwan dengan semboyan politiknya yakni Menuju Aceh Selatan Produktif adalah dua hal yang sangat relevan. Mengingat beliau memiliki background seorang pengusaha. Tentu penulis tidak perlu lagi menjabarkan lagi terkait relevansi keduanya yakni relevansi antara perekonomian dengan pengusaha.
Secara objektif, analisis dalam bentuk opini ini ditujukan bukan tanpa sebab. Telah lama Kabupaten Aceh Selatan mengalami stagnasi khusus di bagian perekonomian produktif.
Selama ini, proses perekonomian yang terjadi di kabupaten ini hanya sekedar proses pencukupan rumah tangga tanpa nilai tambah yang signifikan terhadap nilai produksi, inovasi, serta kreativitas.
Secara cermat, Kabupaten Aceh Selatan dianugerahi sumber daya alam yang melimpah dalam berbagai sektor pemanfaatan; pertanian, pariwisata, perikanan, kehutanan serta masih banyak lagi. Seluruh sumber daya tersebut adalah label yang akan menjadi ikon tersendiri jika dimanfaatkan secara serius, instens dan kreatif.
Disamping itu juga, terdapat sektor-sektor lain yang selama ini kurang mendapat perhatian dari segi pengelolaan dan pengembangan. Salah satunya adalah kebudayaan. Untuk memanfaatkan sektor tersebut dibutuhkan unsur ekonomi produktif yang dominan.
Hak ini terjadi dikarenakan sektor tersebut adalah sektor tak kasat namunmelekat dalam identitas dan entitas masyarakat Aceh Selatan.
Seharusnya sektor tersebut yang juga bisa dikelola dengan baik dan akan menambah nilai jual sektor pariwisata Aceh Selatan sehingga mampu menarik daya tarik bagi para wisatawan baik dari dalam maupun luar Aceh Selatan. Dan dipastikan bila itu bisa direalisasikan salah satu efek berantainya adalah peningkatan dampak ekonomis yang akan tegak lurus dengan cita-cita meraih kesejahteraan masyarakat Aceh Selatan.
Mari kita menilik kembali motivasi yang dibawa oleh H. Mirwan. Untuk diketahui Aceh Selatan dalam kacamata ekonomi tidak kekurangan satu hal pun dalam hal sumber daya. Hanya saja pemanfaatan dan pengelolaan yang selama ini terjadi hanya berbentuk stagnasi tanpa nilai tambah yang jelas. Maka, kehadiran sosok yang membawa narasi progresif tersebut seyogyanya menjadi jawaban atas ketidakberdayaan yang selama ini dilakoni.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh