Cacat Etik dan Hukum Lahir dari Putusan MK?

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Beberapa hari terakhir, ruang publik kembali riuh. Forum Purnawirawan Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyampaikan delapan poin tuntutan kepada Presiden Prabowo Subianto, Presiden ke-8 setelah Joko Widodo alias Jokowi

Salah satu poin yang paling menyita perhatian adalah usulan agar Gibran Rakabuming Raka (GRR) dicopot melalui mekanisme Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.

Dalam bahasa yang sopan, tapi mengandung muatan politis yang dalam bahwa “Gibran dianggap produk dari proses yang cacat etik dan hukum, karena lahir dari putusan Mahkamah Konstitusi yang terbukti bermasalah.”

Namun, mencopot seorang Wapres bukan perkara opini atau moralitas Politik semata. Ini soal konstitusi, hukum, dan sistem demokrasi yang mesti harus dijaga. 

Dan dalam sistem presidensial seperti Indonesia, mencopot Wapres adalah tindakan yang sangat serius, dengan prosedur luar biasa ketat.

Tak hanya soal desakan pencopotan Gibran, sebanyak 300 pensiunan tentara dan didukung oleh mantan Wapres Try Sutrisno mendesak Prabowo agar mencopot menteri yang masih mengabdi kepada Jokowi layaknya masih seorang ‘bos’.

Terkait hal itu, Lutfia Harizuandini, Peneliti PARA Syndicate menilai bahwa dua desakan itu mencerminkan adanya konflik antarelite pendukung Prabowo. 

“Ada ketidaksukaan dari pendukung Prabowo, khususnya elemen senior militer, terhadap perpanjangan Jokowi di pemerintahan baru,” katanya, Senin (28/4/2025).

Soal desakan pencopotan menteri, Lutfia menjelaskan hal ini dilatarbelakangi munculnya sikap loyalitas ganda di kabinet.

Ada beberapa menteri yang dinilai lebih loyal kepada Jokowi ketimbang dengan Prabowo.  Hal ini ditandai dengan sowan para menteri ke kediaman Jokowi di Solo berapa waktu lalu.

Lutfia mengatakan, konflik ini bisa memicu masalah serius ke depannya. Arah kebijakan Prabowo bisa terganggung dengan adanya konflik antarelite pendukungnya.

“Konflik antarelite ini, ke depannya, berpotensi memengaruhi kebijakan dan eksekusi hingga implikasinya bagi masyarakat semua,” jelas Lutfia.

Sikap Prabowo terhadap tuntutan tersebut sangat dinanti oleh publik. Bahkan bisa saja arah pemerintahan Prabowo dipertaruhkan.

Oleh karena itu, Prabowo harus bersikap bijak untuk menjawab tuntutan tersebut.

“Respons Prabowo terhadap konflik dan dinamika tersebut bakal berpengaruh signifikan bagi ke keberlangsungan pemerintahannya hingga 2029,” lanjut Lutfia.

“Jadi, Prabowo harus hati-hati dan mempertimbangkan respons dengan cermat,” imbuhnya.

Pintu masuk pemakzulan Gibran

Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar membeberkan 3 hal yang mungkin bisa menjadi pintu masuk impeachment atau pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

“Saya kira lebih baik DPR memulainya dengan apa, misalnya silakan pilih, misalnya kalau Gibran dianggap tidak memenuhi syarat sebagai wakil presiden, kan barangkali sempat heboh-heboh soal ijazah, ya silahkan kalau memang ditemukan bukti yang kuat soal itu,” kata Zainal Arifin Mochtar dalam sebuah dialog “Forum Purnawirawan TNI Desak MPR Copot Wapres Gibran”, Senin (28/4/2025).

Kedua adalah terkait dugaan perbuatan tercela Gibran meskipun itu dilakukan sebelum menjabat sebagai wakil presiden. Salah satunya adalah soal dugaan kepemilikan akun fufufafa yang kontennya berisi penghinaan terhadap Prabowo Subianto dan keluarga.

“Perbuatan tercela, nah silakan tuh, apakah konteks fufufafanya kemarin itu betulkah dia yang melakukan dan sebagainya silakan itu yang dielaborasi,” kata Uceng.

“Termasuk kalau pelanggaran pidananya, misalnya, saya nggak tahu, tapi dulu Mas Ubaidilah pernah melaporkan ke KPK misalnya, kalau itu memang terbukti secara pidana maka seharusnya bisa dilanjutkan ke proses impeachment melalui DPR.”

“Tapi jangan lupa dia harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi sebelum ujungnya akan diselesaikan oleh MPR,” bebernya.

Dalam upaya pemakzulan terhadap Gibran jangan sampai ada pelanggaran konstitusi yang dilakukan.

“Pelanggaran konstitusi yang dulu dilakukan, tidak berarti bahwa kita melakukan pelanggaran yang sama atau merusak konstitusi karena itu tidak akan membanggakan dalam sebuah proses konstitusional,” katanya.

Apa urgensinya?

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai tidak ada urgensi yang mendesak untuk memakzulkan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden. 

Agung mengatakan, dalam 6 bulan kepemimpinan Gibran sebagai wapres tidak ada pelanggaran konstitusi yang dilakukannya.

“Tidak ada urgensi yang mendesak untuk memakzulkan Mas Gibran dan karena selama 6 bulan ini tidak ada pelanggaran inkonstitusional menurut kacamata saya sebagai analis politik,” kata Agung.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia menilai, usulan para purnawirawan TNI agar Gibran Rakabuming Raka mundur dari kursi Wapres justru memicu kontraksi politik baru bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Sebab, pemerintah saat ini tengah menghadapi situasi yang tidak mudah akibat tantangan global.

“Saya kira usulan itu, kita harus lihat secara aturan konstitusi dan seterusnya, secara politik menurut saya tidak menguntungkan untuk hari ini,” jelas Doli.

Namun demikian, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menegaskan bahwa konstitusi mutlak untuk dipatuhi.

Pasalnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 telah mengatur mekanisme memberhentikan atau memakzulkan Presiden dan Wapres. 

Pasal 7A UUD 1945 hasil amandemen ketiga mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. 

Bivitri mengatakan, Pasal 7A tersebut juga mensyaratkan pemberhentian dalam masa jabatan harus ada usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke MPR RI. 

“Jadi secara konstitusi memang harus dipatuhi yang (Pasal) 7A itu. Jadi enggak bisa diturunkan sembarangan oleh MPR. Itu zaman dulu,” kata Bivitri, Senin (28/4/2025).

Pasal 7A UUD 1945 berbunyi, “Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. 

Apalagi, menurut Bivitri, Pasal 7B secara jelas telah mengatur alur dari proses pemakzulan tersebut yang harus melewati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terlebih dahulu. 

Aturan mengenai pelibatan MK tersebut juga termaktub dalam Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”. 

“Pertama, DPR harus semacam mendakwakan apa kesalahannya. Artinya, semua fraksi di DPR atau mayoritas fraksi DPR harus setuju. Kemudian, DPR kalau sudah setuju, 2/3 anggota setuju, mereka kirim ke MK,” jelasnya. 

“MK akan memutuskan sesuai wewenang mereka di Pasal 24C ayat (2) UUD 1945. Kalau MK bilang oke memang bersalah menurut hukum, baru MK akan mengirim putusannya kepada DPR,” kata Bivitri. 

Bivitri menjelaskan bahwa DPR akan mengundang DPD, untuk mengadakan sidang MPR dengan syarat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota dan disetujui minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. 

“Di MPR baru diputuskan lagi dengan kuorum tertentu yang ditulis dalam UUD 1945, si wapres yang sudah ditetapkan oleh MK bersalah tadi dimakzulkan,” ujarnya. 

Ketentuan pemakzulan melalui MPR termaktub dalam Pasal 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar”. 

Atas dasar itulah Bivitri menegaskan bahwa ada konstitusi yang harus dipatuhi terkait pemakzulan wapres.

Pemakzukan Yoon Suk Yeol jadi contoh?

Dia pun memberi contoh pemakzulan Yoon Suk Yeol dari posisi Presiden Korea Selatan. 

Prosesnya sama seperti di Indonesia, yakni harus ada putusan MK terlebih dahulu. 

“Sebenarnya bisa dilihat betul yang kejadian di Korea Selatan kemarin, MK-nya setelah MK bilang oke bersalah baru dia (Yoon Suk Yeol) dimakzulkan.”

“Tidak bisa oleh MPR langsung. Jadi keliru tuh orang-orang yang bilangnya MPR bisa langsung menjatuhkan,” kata Bivitri menimpali. 

Bagaimana sistem presidensial?

Tak hanya menaati konstitusi, Bivitri juga bicara soal sistem presidensial terkait pemakzulan presiden atau wapres. 

Dalam Pasal 4 UUD 1945 jelas termaktub bahwa Indonesia menganut sistem presidensial. 

Pasal itu berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. 

Sistem presidensial berarti presiden atau kepala pemerintahan adalah kepala negara yang dipilih langsung oleh rakyat. Kemudian, kepala pemerintahan tidak boleh diturunkan di tengah masa jabatan. 

Bivitri mengatakan, Pasal 7A hasil amandemen ketiga UUD 1945 itu lahir untuk memperkuat sistem presidensial. 

“Jadi, untuk diketahui karena saya mengikuti proses amandemen tahun 1999 dan 2002, justru Pasal 7A, pasal pemakuzulan itu memang sengaja dibuat untuk membuat sistem presidensial kita lebih konsisten,” ujarnya. 

“Amandemen UUD 1945 itu salah satunya mendiskusikan supaya kita lebih konsisten presidensial nya. Jangan ada lagi elite di MPR yang bisa menaik-turunkan presiden seenak-enaknya seperti dulu. Maka dibuatlah mekanisme Pasal 7A itu,” demikian Bivitri.

Exit mobile version