ORINEWS.id – Berlama-lamanya penanganan kasus pagar laut disebabkan perbedaan pandangan antara polisi dan jaksa soal ada tidaknya tindak pidana korupsi dalam kasus pagar laut Tangerang.
Simple saja sebenarnya kasus ini, bahwa konstruksi hukum atas dua kasus sama namun berbeda lokasi itu. Adalah sama-sama berbasis pada penjeratan Pasal 263 KUH Pidana, terkait pemalsuan dokumen.
Akan tetapi pihak Kejaksaan Negeri Cikarang, menghentikan penyelidikan korupsi terkait pagar laut di Bekasi. Sementara dalam kasus pagar laut di Tangerang, kejaksaan ngotot untuk penjeratan pasal-pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pengusutan kasus pagar laut di Tangerang tak kunjung masuk ke meja hijau sebab tercatat sudah dua kali pula Kejagung mengembalikan berkas tersebut karena pihak kepolisian tidak mencantumkan dugaan korupsi dalam perkara tersebut.
Sejak pengembalian pertama pada 25 Maret 2025, Kejagung telah memberikan instruksi kepada Polri agar turut mengusut dugaan suap atau gratifikasi yang berkaitan dengan korupsi dalam kasus ini. Pasalnya, jaksa menemukan adanya dugaan terjadinya korupsi dalam pemalsuan surat tanah yang dilakukan Kepala Desa Kohod, Tangerang, Banten itu.
Dalam pandangan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar, bahwa penyidik kepolisian seharusnya memenuhi setiap petunjuk jaksa dalam kasus tindak pidana, karena yang bertanggung-jawab dalam pembuktian nantinya di persidangan adalah jaksa selaku penuntut umum bukan penyidik.
“Karena itu jika penyidik polisi tidak memenuhi petunjuk jaksa seperti dalam kasus pagar laut Tangerang itu merupakan tindakan pembangkangan,” ujar Fickar begitu disapa Monitorindonesia.com, Senin (28/04/2025).
Dia menegaskan penyidik tidak boleh marah, emosional dan menilai jaksa inkonsisten dengan memperbandingkan sikap jaksa dalam kasus pagar laut Tangerang dengan kasus pagar laut Bekasi. “Karena masing masing perkara punya karakter masing-masing. Jadi tidak bisa pukul rata,” tegasnya.
Menurutnya, jika penyidik bersikap seperti itu maka kejaksaan sebaiknya untuk mengambilalih penanganan kasus pagar laut Tangerang. “Atau jika sudah ada nota kesepahaman atau MoU soal penanganan perkara antara Kejaksaan, Kepolisian dan KPK maka sebaiknya kasus pagar laut Tangerang diserahkan kepada KPK,” jelasnya.
Namun yang harus diwaspadai dan diawasi dalam kasus kedua pagar laut tersebut apakah para penegak hukum mendapat suap atau justru mau melakukan pemerasan terhadap pihak-pihak yang diduga tersangkut atau terlibat.
Jika ini yang terjadi maka sebaiknya KPK turun tangan untuk mengatasi para penegak hukum yang coba bermain-main. “Memang rawan dalam kasus pidana, baik pidana umum maupun tipikor. Sulit dihindari ada korupsinya. Jadi tugas masyarakat juga mengawasi, yang jika ada indikasinya lebih baik dilaporkan kepada KPK,” ungkapnya.
Seperti diketahui terkait kasus pagar laut Tangerang dengan tersangka Kades Kohod Arsin dan kawan-kawan, penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri tetap bersikeras kasusnya domain tindak pidana umum karena terkait pemalsuan dokumen.
Sehingga penyidik tidak memenuhi petunjuk Kejaksaan Agung agar kasus Arsin dkk diusut dan diserahkan kepada Korps Pemberantasan Tindak Pidana (Kortas Tipikor) Polri karena masuk ranah korupsi.
Alasan penyidik seperti disampaikan Direktur Tipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandani Rahardjo Puro dalam keterangannya, Kamis (24/04/2025) karena kejaksaan inkonsistensi menyikapi kasus pagar laut Tangerang dengan kasus pagar laut Bekasi.
Djuhandani mengatakan dalam kedua kasus pagar laut yang berbeda lokasi penyidik sebenarnya menerapkan sangkaan pasal yang sama kepada para tersangka yaitu diduga melanggar Pasal 263 KUHP terkait dengan pemalsuan dokumen.
Namun, kata Djuhandani, dalam kasus pagar laut Bekasi pihak Kejaksaan Negeri Cikarang malah menghentikan penyelidikan dugaan korupsi dalam jual beli wilayah laut di Desa Babelan Kecamatan Tarumajaya.
Padahal, tuturnya, hasil penyidikan dari penyidik terkait jual beli wilayah laut di Desa Babelan maupun proses pensertifikatan telah terjadi dugaan pemalsuan surat dengan modus yang sama dengan kasus pagar laur di Desa Kohod Kecamatan Pakuhaji, Tangerang.
“Sehingga hal ini kontradiktif dengan petunjuk JPU (Jaksa Penuntut Umum pada JAM Pidum Kejaksaan Agung) yang menyatakan perkara tersebut (pagar laut Tangerang) dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi,” katanya.
Dia menuturkan sikap inkonsistensi kejaksaan tersebut yang membuat tim penyidik tetap menjerat para tersangka kasus pagar laut di Tangerang yaitu Arsin dan kawan-kawan dengan Pasal 263 KUHP terkait pemalsuan dokumen.
Adapun tersangka Arsin dan tiga tersangka lain yaitu Sekretaris Desa Kohod Ujang Karta dan dua penerima kuasa yaitu SP dan CE sejak Kamis (24/04/2025) mendapat penangguhan penahanan dari penyidik setelah sempat ditahan selama 60 hari.
Tak masuk logika jika tak ada unsur rasuah
Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyatakan bahwa hukum itu nalar, argumentasi, logika. Baru kemudian apa yang tertulis.
“Kalau ada pemalsuan (sertifkat) yang dipalsukan oleh penyelenggara negara, emang ada pemalsuan tanpa suap? Kalau orang yang punya kuasa melakukan pemalsuan, siapa saja, mulai dari lurah sampai presiden, kalau dia melakukan pemalsuan, itu ada sesuatu di situ,” kata Saut belum lama ini.
Maka tdak masuk logika bila tidak ada unsur korupsi, sedangkan proses pembangunan pagar laut tersebut sangat mencurigakan. “Ada pembangunan (pagar laut) 30 kilometer, logika, nalar, argumentasi Anda itu kayak bagaimana? Bagaimana pembangunannya, bagaimana prosesnya, siapa (yang menjadi dalang) di situ,” bebernya.
Maka dari itu dia mendesak agar kasus pagar laut ini segera diambil alih oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Apalagi, lembaga ini sudah mengetahui secara jelas kasus tersebut. “Supaya lebih cepat, Jaksa kan sudah memahami kasusnya, udah Kejaksaan aja langsung ambil alih. Gak usah bertele-tele lagi,” ungkapnya.
Selain itu, dia turut mengkritik soal pemerintahan yang sering kali hanya bicara soal kerugian negara dalam kasus tersebut. Namun tidak pernah bicara mengenai kerugian yang dialami oleh rakyat.
“Jangan hanya bicara kerugian negara, bicara juga kerugian rakyat. Kerugian rakyat itu kerugian negara. Dengan pagar (laut) yang kayak begitu,” tukasnya.
KPK “Ngintip”
Tidak menutup kemungkinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menjalin kerja sama dengan Kejaksaan Agung dalam menangani dugaan korupsi kasus pagar laut, perairan Desa Kohod, Tangerang.
“Tidak tertutup kemungkinan KPK akan melakukan hal tersebut dengan Kejagung,” kata juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto kepada Monitorindonesia.com dikutip pada Senin (28/4/2025).
Tessa mengatakan membuka peluang tersebut jika memang ada yang perlu untuk dikomunikasikan dan dikoordinasikan dengan Kejagung.
Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Anti-korupsi (MAKI) Boyamin Saiman melaporkan dugaan korupsi terkait dengan penerbitan sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (HM) pagar laut di kawasan pesisir pantai utara (pantura), Kabupaten Tangerang, Banten, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (23/1/2025) lalu.
Boyamin berpandangan bahwa laut tidak bisa disertifikatkan sehingga dirinya menduga ada tindak pidana korupsi dalam penerbitan kedua sertifikat tersebut.
“Saya melihatnya dari memastikan itu dengan melapor ke KPK dengan Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang perubahan kedua, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,” kata Boyamin di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang pemalsuan buku atau daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi sebagai tindak pidana korupsi.
Boyamin juga mengatakan bahwa laporannya dibuat sesuai dengan pernyatan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid, yang menyebut ada cacat formil dalam penerbitan sertifikat tersebut.
“Saya mendasari pernyataan Pak Nusron Wahid, mengatakan ada cacat formal bahkan materiel. Jadi, ada dugaan pemalsuan di Letter C, Letter D, warkah dan lain sebagainya menyangkut dokumen dan data tanah itu,” bebernya.
Ia pun berharap laporannya bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mendalami ada atau tidaknya tindak pidana korupsi terkait penerbitan sertifikat tersebut.
“Ya mudah-mudahan KPK akan mampu nanti menemukan itu (dugaan tipikor). Ini pintu masuknya Pasal 9 dulu. Nah saya berharap memang ya menuju Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12. Syukur-syukur Pasal 2 dan 3 perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan kerugian negara. Karena laut ini kan menjadi kerugian negara juga,” tandas Boyamin.