ORINEWS.id – Memperingati Hari Kartini, Majelis Alimat Indonesia (MAI) Cabang Aceh menggelar webinar nasional bertajuk Refleksi Hari Kartini: Kontribusi Kepemimpinan Perempuan dalam Dinamika Sosial, Politik, dan Budaya, Senin (21/4/2025).
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber, yakni Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Eka Srimulyani dan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Rina Suryani Oktari. Webinar dimoderatori oleh Sulastri, dosen FKIP USK sekaligus pengurus MAI Aceh.
Ketua MAI Aceh, Prof Eti Indarti dalam sambutannya menyampaikan bahwa Hari Kartini merupakan momentum penting bagi perempuan untuk merefleksikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berbangsa.
“Perempuan Aceh memiliki rekam jejak kepemimpinan yang kuat sejak masa lalu. Saat ini, tantangan kita adalah bagaimana menjaga dan memperkuat peran tersebut di tengah dinamika sosial, politik, dan budaya yang terus berubah,” kata Eti.
Menurut dia, MAI Aceh berkomitmen untuk terus mendorong peningkatan kapasitas dan partisipasi aktif perempuan di berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan pengambilan kebijakan publik.
Ketua Umum MAI, Prof Sylviana Murni juga menyerukan pentingnya peran perempuan dalam pembangunan bangsa. Ia menyebut semangat Kartini sebagai kekuatan untuk menegakkan keadilan dan pendidikan.
“Perempuan bukan hanya pilar keluarga, tapi penggerak bangsa dan bahkan dunia,” kata Sylviana.
Ia mengajak kader MAI untuk terus meningkatkan kapasitas diri demi kontribusi nyata bagi kemajuan peradaban.
Dalam paparannya, Prof Eka Srimulyani menjelaskan bahwa sejarah Aceh mencatat kehadiran sultanah perempuan sebagai pemimpin kerajaan. Namun, menurut dia, peran perempuan di ruang publik kini menghadapi tantangan dari ideologi patriarkal, modernisasi, dan perubahan struktur sosial.
“Perempuan Aceh punya sejarah panjang dalam kepemimpinan, namun hari ini masih banyak hambatan struktural dan kultural yang perlu diurai,” ujar Eka.
Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini juga menyoroti peran signifikan perempuan dalam masa konflik dan pasca-tsunami. Di tengah krisis, perempuan muncul sebagai aktor penting dalam membangun perdamaian dan pemulihan sosial.
Eka juga menyinggung peran perempuan Aceh dalam masa konflik dan bencana. Kongres Perempuan Aceh atau Duek Pakat Inong Aceh pada 2000 menjadi tonggak penting pergerakan perempuan untuk perdamaian, jauh sebelum Resolusi DK PBB 1325 diterbitkan.
Setelah tsunami, perempuan turut andil dalam pendirian partai politik lokal, pengesahan piagam hak-hak perempuan, dan advokasi gender.
“Sering kali kita maju dua langkah, lalu mundur satu langkah,” ujar Eka, mengingatkan bahwa perjuangan belum selesai.
Sementara itu, Rina Suryani Oktari menekankan pentingnya kehadiran perempuan dalam kepemimpinan berbasis komunitas, terutama saat menghadapi bencana dan krisis kesehatan. Ia menilai, perempuan memiliki kemampuan adaptif dan empatik yang sangat dibutuhkan dalam situasi darurat.
Menurutnya, perempuan sebagai aktor tak tergantikan dalam pemulihan sosial di tengah konflik, bencana, dan pandemi.
“Krisis menciptakan kekosongan. Di situlah perempuan hadir, bukan karena diberi mandat, tapi karena mereka mengambil peran,” kata Rina.
Di akhir sesi, Rina menekankan bahwa kepemimpinan perempuan tak bisa lagi dianggap pelengkap.
“Ia adalah elemen esensial dalam membangun masa depan yang lebih tangguh dan adil,” ujarnya.
Webinar yang berlangsung secara daring ini diikuti oleh peserta dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bali, Manado, dan Riau. Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian peringatan Hari Kartini yang digagas MAI secara nasional. []