ORINEWS.id – Di antara berbagai ancaman yang ditimbulkan tarif terhadap ekonomi AS, tak ada yang mungkin seaneh penurunan tajam nilai dolar.
Nilai mata uang memang naik turun karena kekhawatiran inflasi, kebijakan bank sentral, dan faktor lainnya. Namun para ekonom khawatir, penurunan dolar belakangan ini begitu drastis hingga mencerminkan sesuatu yang lebih mengkhawatirkan saat Presiden Donald Trump berusaha merombak perdagangan global: hilangnya kepercayaan terhadap Amerika Serikat.
Dominasi dolar dalam perdagangan lintas negara dan sebagai aset aman telah dijaga oleh pemerintahan dari kedua partai selama puluhan tahun. Ini membantu menurunkan biaya pinjaman AS dan memungkinkan Washington memproyeksikan kekuatannya ke luar negeri—keuntungan besar yang bisa lenyap jika kepercayaan terhadap AS hancur.
“Kepercayaan global dan ketergantungan pada dolar dibangun selama setengah abad atau lebih,” kata ekonom Barry Eichengreen dari University of California, Berkeley seperti dilansir APNews, Sabtu (19/4/2024).
“Tapi semua itu bisa hilang sekejap mata,” sambungnya.
Sejak pertengahan Januari, nilai dolar telah jatuh 9% terhadap sekeranjang mata uang asing, penurunan yang jarang dan tajam, hingga mencapai titik terendah dalam tiga tahun.
Banyak investor yang khawatir dengan Trump tak berpikir dolar akan segera tergeser dari statusnya sebagai mata uang cadangan dunia, tapi lebih mungkin mengalami penurunan perlahan. Meski demikian, itu sudah cukup menakutkan, mengingat banyak manfaat yang bisa hilang.
Karena sebagian besar perdagangan dunia dilakukan dalam dolar, permintaan terhadap mata uang ini tetap kuat bahkan ketika utang pemerintah federal AS telah berlipat ganda dalam 12 tahun dan AS melakukan berbagai kebijakan yang biasanya akan membuat investor lari. Hal ini memungkinkan pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha di AS untuk meminjam dengan suku bunga yang sangat rendah—yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan standar hidup.
Dominasi dolar juga memungkinkan AS menekan negara lain seperti Venezuela, Iran, dan Rusia dengan mengunci mereka dari akses ke mata uang yang mereka butuhkan untuk berdagang dengan dunia.
Kini, “hak istimewa yang berlebihan” itu—sebutan ekonom untuk kondisi tersebut—tiba-tiba berada dalam ancaman.
Penurunan Dolar yang Aneh
“Sifat dolar sebagai aset aman mulai tergerus,” tulis Deutsche Bank dalam catatan untuk klien awal bulan ini, memperingatkan adanya “krisis kepercayaan.” Laporan lain yang lebih berhati-hati dari Capital Economics menambahkan, “Sudah tidak berlebihan lagi jika dikatakan bahwa status cadangan dolar dan perannya yang dominan mulai dipertanyakan.”
Secara tradisional, dolar akan menguat saat tarif menurunkan permintaan atas produk luar negeri.
Namun kali ini, dolar justru gagal menguat dan malah melemah—membingungkan para ekonom dan merugikan konsumen. Sejak awal April, dolar kehilangan lebih dari 5% terhadap euro dan pound, serta 6% terhadap yen.
Sebagaimana diketahui para pelancong AS ke luar negeri, dolar yang kuat berarti daya beli lebih besar, sedangkan dolar lemah berarti harga barang lebih mahal. Kini, harga anggur Prancis, elektronik Korea Selatan, dan berbagai barang impor lainnya bisa naik bukan hanya karena tarif, tapi juga karena lemahnya dolar.
Kehilangan status sebagai aset aman juga bisa memukul konsumen AS dari sisi lain: suku bunga hipotek dan pembiayaan mobil bisa naik karena pemberi pinjaman menuntut bunga lebih tinggi akibat peningkatan risiko.
Masalah Utang Federal
Yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi kenaikan suku bunga atas utang federal AS yang terus membengkak, yang kini sudah mencapai level berisiko, yaitu 120% dari total output ekonomi tahunan.
“Sebagian besar negara dengan rasio utang terhadap PDB seperti itu akan menghadapi krisis besar. Satu-satunya alasan AS lolos adalah karena dunia butuh dolar untuk berdagang,” kata Benn Steil, ekonom dari Council on Foreign Relations. “Tapi suatu saat nanti, orang akan benar-benar mulai mencari alternatif dolar.”
Faktanya, hal itu sudah terjadi—dengan bantuan dari pesaing ekonomi AS.
China selama bertahun-tahun telah membuat kesepakatan perdagangan dalam yuan dengan Brasil (untuk produk pertanian), Rusia (untuk minyak), dan Korea Selatan (untuk barang lainnya). China juga memberi pinjaman dalam yuan kepada bank sentral negara-negara seperti Argentina dan Pakistan yang butuh dana, menggantikan peran dolar sebagai penyelamat terakhir.
Alternatif lain yang mungkin di masa depan jika pasarnya tumbuh: mata uang kripto.
Ketua BlackRock, Larry Fink, dalam surat tahunannya kepada pemegang saham mengatakan soal dominasi dolar: “Jika defisit terus membengkak, Amerika berisiko kehilangan posisi itu kepada aset digital seperti Bitcoin.”
Tidak semua orang yakin bahwa penurunan dolar ini karena hilangnya kepercayaan terhadap AS.
Steve Ricchiuto, ekonom dari Mizuho Financial, mengatakan kelemahan dolar mencerminkan ekspektasi terhadap inflasi yang lebih tinggi akibat tarif. Tapi meski para investor tak lagi nyaman memegang dolar, katanya, mereka tak punya banyak pilihan. Tak ada mata uang atau aset lain seperti yuan, bitcoin, atau emas yang cukup besar untuk menggantikan peran dolar.
“AS akan kehilangan status mata uang cadangan hanya ketika ada pihak lain yang bisa mengambil alih,” kata Ricchiuto. “Saat ini, belum ada alternatif.”
Kebijakan yang Tak Menentu Membuat Investor Cemas
Mungkin begitu, tapi Trump sedang menguji batas.
Masalahnya bukan hanya tarif, tapi juga cara penerapannya yang tidak menentu. Ketidakpastian ini membuat AS tampak kurang stabil, kurang dapat diandalkan, dan kurang aman untuk menyimpan uang.
Selain itu, ada juga pertanyaan atas logika di balik kebijakan tersebut. Trump mengatakan tarif akan menurunkan defisit perdagangan, yang ia anggap sebagai bukti bahwa negara-negara lain “menjarah” Amerika. Namun dalam perhitungannya, ia hanya menghitung defisit perdagangan barang, tidak termasuk jasa—padahal sektor jasa adalah keunggulan AS. Kebanyakan ekonom juga berpandangan bahwa defisit perdagangan bukanlah tanda kelemahan ekonomi karena tidak menghambat pertumbuhan dan kemakmuran.
Trump juga berulang kali mengancam untuk mengurangi independensi bank sentral (Federal Reserve), memicu kekhawatiran bahwa ia akan memaksa suku bunga diturunkan demi mendorong ekonomi, meski itu berisiko memicu inflasi tak terkendali—hal yang pasti akan membuat investor lari dari dolar. Setelah Ketua Fed Jerome Powell mengatakan hari Rabu bahwa ia akan menunggu sebelum membuat keputusan suku bunga, Trump langsung menyerangnya: “Pecat Powell secepatnya!”
Para ekonom yang mengkritik pengumuman tarif Trump pada 2 April lalu mengingatkan pada peristiwa lain: Krisis Suez tahun 1956, yang menghancurkan kekuatan poundsterling Inggris. Serangan militer terhadap Mesir itu buruk dalam perencanaan dan pelaksanaannya, memperlihatkan ketidakmampuan politik Inggris yang menghancurkan kepercayaan dunia. Pound jatuh tajam, dan posisinya selama berabad-abad sebagai mata uang perdagangan dan cadangan dominan pun lenyap.
Eichengreen dari Berkeley mengatakan, Hari Pembebasan, sebutan Trump untuk 2 April, bisa jadi dikenang sebagai titik balik serupa jika sang presiden tak berhati-hati.
“Ini bisa menjadi langkah pertama menuju jurang di mana kepercayaan dunia terhadap dolar AS lenyap.” [source:apnews]