*Oleh: Dr. Nurlis Effendi
RUMAHNYA terletak di Bueng Bakjok, Kuta Baroe, Aceh Besar. Di jendela rumah bertuliskan “Keluarga Tidak Mampu Penerima Bantuan BKH”. Di sinilah Wahidin, 50 tahun, bersama istrinya, Mardiana, membesarkan lima buah hatinya.
Hari itu, Kamis (17 April 2025), di depan rumahnya terpasang tenda dan kursi-kursi berwarna oranye. Di beberapa sudut simpang jalan menuju rumah terpasang bendera warna merah. Ramai warga yang berwajah duka berkumpul di sini.
Bermata sembab, Mardiana, menerima kedatangan saya bersama tim rektorat dan para dekan dari Universitas Abulyatama. Air matanya berderai. Begitu juga anak-anaknya terus menangis. Si bungsu yang masih baru masuk sekolah dasar terlihat bingung, belum mengerti apa yang terjadi.
“Keluarga kami hanya ingin tahu, suami saya berjuang untuk siapa dan untuk apa, dia berada di pihak mana,” Mardiana bertanya. Suaranya bergetar. Air matanya mengalir bertambah deras. Saya tak mampu menahan kesedihan ini.
Saya menjelaskan, bahwa Wahidin menghembuskan nafas terakhirnya di dalam masjid yang di samping kampus Universitas Abulyatama, Lampoh Keudee, Aceh Besar. Hari itu, Kamis (17 April 2025) terjadi gelombang unjukrasa dari kalangan mahasiswa, para dosen, dan ratusan orang orang yang bukan dari kalangan kampus.
Sebagai Satgas, Wahidin yang hari itu bertugas dipintu gerbang, menjadi bagian terdepan menerima terjangan para pengunjuk rasa setelah mereka merubuhkan gerbang masuk kampus.
Wahidin terjerambab dan terinjak-injak pengunjukrasa. Entah ada yang sengaja melakukannya atau tidak, saya tidak bisa memastikannya. Pastinya Wahidin adalah manusia yang tergelelak dijalan dan tidak ada yang berusaha membantunya.
Terseok-seok, Wahidin berusaha bangkit, dan tertatih-tatih menuju masjid. Di sinilah ia menghembuskan nafas terakhir. Cerita itu saya peroleh dari kesaksian teman-teman Satgas Wahidin. Jenazahnya dibawa ke Rumah Sakit Pertamedika Ummi Rosnati. Perawat di sini bilang menerima korban sudah tak bernyawa lagi.
Dari sejumlah video unjukrasa yang beredar, saya melihat keributan terjadi berawal dari serangan lemparan batu dari rumah berpagar kokoh di samping kiri jalan masuk kampus, berhadap-hadapan dengan masjid.
Kekerasan tak hanya dialami Wahidin. Bahkan ada yang lebih tragis. Dari video yang beredar, ada Satgas yang dikeroyok mahasiswa dan dosen di dalam kebun dekat masjid. Bajunya dikoyak. Digebuk pakai kayu, dan ditendang dan ditinju. Saya belum tahu nasibnya bagaimana.
Saya menjelaskan kepada Mardiana, bahwa Wahidin bekerja untuk pemilik kampus, Rusli Bintang. Ia bekerja sebagai Satgas yang sah, dikuatkan dengan Surat Keputusan dari Yayasan Abulyatama Aceh.
“Sudah sebulan terakhir dia bekerja sebagai Satgas Yayasan Abulyatama Aceh milik Pak Rusli Bintang,” kata M. Hasan, Geuchik Bueng Bakjok, kepada saya saat berkunjung ke sini pada Kamis (17 April 2025). Mardiana mengelus dadanya. Meski dalam keadaan duka yang mendalam, Mardiana lega suaminya berada pada posisi yang benar dan jelas.
Ketika keluarga ini dalam duka mendalam dan sejumlah Satgas sedang merawat luka, mungkin Kepala LLDIKTI Wilayah XIII Aceh Rizal Munadi sedang berada di ruangan berpendingin udara di kantornya. Pastinya dia telah mengetahui kondisi ini, kendati bersikap diam.
Begitu juga para aktor penggerak unjukrasa, mungkin sedang terbahak-bahak melihat para Satgas dianiaya dan Satgas yang menghembuskan nafasnya terakhir. Apalagi ada eforia dan sorak sorai di dalam media sosial menertawakan perilaku penganiayaan tersebut.
Saya juga memperoleh screenshot group whatsapp para penggalang unjukrasa. Di sana para aktornya memberi perintah menyusun narasi-narasi untuk menyudutkan korban kekerasan. Ditugaskan untuk memframing para Satgas adalah preman.
Padahal Satgas yang telah meninggal dunia dan dianiaya itu bekerja dikuatkan dengan surat Keputusan.
Jujur, saya katakan, saya bingung dengan aksi unjukrasa ini. Mereka menuntut berjalannya pendidikan sebagai hak mahasiswa, para dosen menuntut bisa mengajar. Seolah-olah kondisi kampus mencekam, tak bisa masuk.
Padahal saya justru membuka lebar pintu kampus, ruang kelas, dan segala fasilitasnya. Sama sekali tidak pernah melarang aktivitas kampus. Bahkan saya tidak melarang unjukrasa yang terjadi, justru saya anggap wajar sebagai wujud menyampaikan aspirasi.
Namun ketika sampai menganiaya dan mencabut nyawa, itu saya kecam. Saya tidak pernah menerima perilaku seperti itu. Kendati hingga saat ini saya belum melihat keadilan menghampiri saya, namun saya yakin kebenaran itu pasti datang. []
Penulis adalah Rektor Universitas Abulyatama