PDIP Selalu Dijadikan Tameng, Hasto bak Orang Hanyut Panik Cari Tempat Bergantung

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

ORINEWS.id – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dianggap memanfaatkan partai untuk kepentingan pribadi, contohnya tim kuasa hukum yang kerap menggelar jumpa pers di DPP PDIP, lengkap dengan atribut kepartaian. Padahal perkara yang dihadapi menyasar pribadi ‘anak emas’ Ketum Megawati Soekarnoputri, bukan partai banteng moncong putih.

Peneliti Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro, menyoroti sikap Hasto yang kerap menyeret partainya dalam proses hukum yang menjeratnya. Dia menilai Hasto tengah berada dalam tekanan psikologis dan berusaha mencari perlindungan melalui PDIP. Ibarat orang hanyut di sungai yang panik menggapai ranting-ranting pohon di sekitar, sebagai tempat bergantung.

“Kalau Hasto seringkali menyeret-nyeret PDIP, ya wajar saja, orang lagi berperkara, punya masalah, kan psikologinya pasti begitu. Dia selalu akan melibatkan orang banyak atau, dengan kata lain, dia pasti membutuhkan perlindungan,” ujar Castro saat dihubungi Inilah.com, dari Jakarta, Jumat (14/3/2025).

Dia menduga, Hasto sudah menyadari bahwa tak ada lagi tempat berlindung usai menabuh genderang perang terhadap Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).

Ditambah, Presiden ke-8 Prabowo Subianto juga belum tentu mau memberikan perlindungan karena PDIP bukan bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

“Di mana lagi dia (Hasto) berlindung? Jokowi pecah kongsi. Di kekuasaan Prabowo juga belum menjadi sekutu, masih ragu-ragu. Satu-satunya pilihan bagi dia untuk mencari perlindungan ya PDIP. Hasto selalu menjadikan PDIP sebagai suaka politiknya, karena dia berasal dari sana,” ucap Castro.

Asal tahu saja, sejak diumumkan sebagai tersangka oleh KPK pada akhir 2024, Hasto kerap mengaitkan kasusnya dengan PDIP serta sosok Presiden pertama RI, Soekarno (Bung Karno), yang merupakan ayah dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Menjelang pemeriksaannya oleh penyidik KPK, Hasto kembali menyebut nama Bung Karno dan mengklaim bahwa status tersangkanya merupakan konsekuensi dari perjuangannya dalam menegakkan nilai-nilai bangsa yang dia pelajari dari Megawati dan Bung Karno.

“Sehingga terhadap seluruh risiko perjuangan dengan nilai-nilai tadi, tentu ada konsekuensi-konsekuensi khusus. Kami diajarkan oleh Bung Karno dan Ibu Mega bahwa perjuangan memerlukan pengorbanan demi cita-cita,” ujar Hasto kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (13/1/2025).

Ia menjelaskan bahwa nilai-nilai yang diperjuangkannya mencakup, “Menegakkan amanat konstitusi, memperjuangkan demokrasi, sistem meritokrasi, hukum yang berkeadilan, serta prinsip-prinsip kedaulatan rakyat,” paparnya.

Jaksa Penuntut KPK membacakan surat dakwaan Hasto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (14/3/2025). Hasto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa perintangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Jaksa menyebut Hasto berperan dalam memerintahkan Harun Masiku untuk menenggelamkan ponselnya saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2020 serta memerintahkan Kusnadi untuk membuang ponselnya saat pemeriksaan tahun 2024.

Selain itu, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Suap senilai Rp600 juta itu diberikan bersama-sama oleh advokat PDIP Donny Tri Istiqomah, kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio. Suap tersebut bertujuan agar Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).

Menurut jaksa, perbuatan Hasto termasuk tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Exit mobile version