ORINEWS.id – Para pemimpin Kanada dan Meksiko menelepon Presiden Donald Trump pekan lalu untuk mencari solusi setelah dia memberlakukan tarif pada negara mereka. Namun, Presiden China tampaknya tidak akan segera melakukan hal yang sama.
Beijing, yang telah terlibat dalam perang dagang dan teknologi dengan AS selama bertahun-tahun, mengambil pendekatan berbeda terhadap Trump di masa jabatan keduanya. Mereka menegaskan bahwa setiap negosiasi harus dilakukan dengan kedudukan yang setara.
Para pemimpin China menyatakan keterbukaan untuk berunding, tetapi mereka juga telah mempersiapkan diri menghadapi tarif AS yang meningkat 20% sejak Trump menjabat tujuh minggu lalu. Tidak ingin terjebak tanpa persiapan seperti pada masa jabatan pertama Trump, China sudah siap dengan langkah-langkah balasan, termasuk memberlakukan pajak pada impor pertanian utama AS.
“Ketika Washington meningkatkan tarif, Beijing tidak memiliki pilihan lain selain membalas,” kata Sun Yun, Direktur Program China di Stimson Center, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Washington, seperti dilansir APNews.com, Minggu (9/3/2025),
“Bukan berarti Beijing tidak ingin bernegosiasi, tetapi mereka tidak bisa terlihat seperti memohon untuk berunding atau meminta belas kasihan,” sambungnya.
Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, China berambisi menjadi kekuatan besar di tingkat regional dan global, serta menuntut penghormatan dari semua negara, terutama AS, sebagai bukti bahwa Partai Komunis telah membawa China menuju kemakmuran dan kekuatan.
Setelah AS memberlakukan tambahan tarif 10% pekan lalu, di atas 10% yang diberlakukan pada 4 Februari, Kementerian Luar Negeri China memberikan tanggapan paling tajam sejauh ini: “Jika perang adalah yang diinginkan AS, baik itu perang tarif, perang dagang, atau bentuk perang lainnya, kami siap bertarung hingga akhir.”
Retorika keras ini mengingatkan pada pernyataan tahun 2018 ketika Trump pertama kali melancarkan perang dagang dengan China. Namun, sejak saat itu, Beijing telah mengembangkan berbagai strategi, termasuk tarif balasan, pembatasan impor, kontrol ekspor, sanksi, tinjauan regulasi, dan langkah-langkah untuk membatasi perusahaan asing berbisnis di China.
Semua ini dirancang untuk memberikan tekanan pada ekonomi dan bisnis AS sebagai respons terhadap tindakan Amerika.
Dengan kesiapan tersebut, pemerintah China dapat dengan cepat menanggapi keputusan Trump untuk menggandakan tarif baru pada barang-barang China. Mereka segera memberlakukan berbagai tindakan balasan, termasuk pajak hingga 15% pada berbagai produk pertanian AS, menghentikan impor kayu dari AS, dan memasukkan 15 perusahaan Amerika ke daftar hitam.
Namun, Beijing tetap menunjukkan sikap moderat agar pintu negosiasi tetap terbuka, menurut para analis.
Kepemimpinan Xi Jinping di Partai Komunis mencakup kedua masa jabatan Trump, memberikan kontinuitas dalam strategi Beijing. Menurut Daniel Russel, Wakil Presiden Keamanan Internasional dan Diplomasi di Asia Society Policy Institute, keputusan untuk tidak berbicara langsung dengan Trump adalah strategi.
“Ini bukan masalah jadwal, tetapi soal leverage bagi China,” kata Russel, mantan Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik. “Xi tidak akan melakukan panggilan jika ada kemungkinan dia akan ditekan atau dipermalukan. Untuk alasan politik dan strategis, Xi tidak akan berperan sebagai pihak yang meminta.”
“Sebaliknya, China merespons dengan cepat namun hati-hati terhadap setiap paket tarif yang diberlakukan AS,” kata Russel.
Dalam konferensi pers tahunannya pada Jum’at (7/3), Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan, “Tidak ada negara yang boleh berkhayal bahwa mereka bisa menekan atau menahan China sambil tetap membangun hubungan baik dengan China.”
“Tindakan bermuka dua semacam itu tidak hanya merugikan stabilitas hubungan bilateral, tetapi juga tidak akan membangun kepercayaan,” tambah Wang.
Dia menegaskan China terbuka untuk kerja sama dengan AS, tetapi memperingatkan bahwa “jika tekanan terus berlanjut, China akan dengan tegas membalas.”
Scott Kennedy, Ketua Bidang Bisnis dan Ekonomi China di Center for Strategic and International Studies, mengatakan kali ini China tidak terkejut secara psikologis dengan taktik “gertak sambal” Trump.
“Mereka sudah pernah melihat ini sebelumnya,” kata Kennedy. “Mereka sudah mengantisipasi langkah-langkah semacam ini.”
Ekonomi China memang melambat, tetapi masih tumbuh hampir 5% per tahun. Di bawah Xi, Partai Komunis telah berinvestasi besar-besaran dalam teknologi canggih, pendidikan, dan sektor lainnya. China juga telah memperkuat hubungan dagang dengan banyak negara lain dibandingkan saat masa jabatan pertama Trump, serta mendiversifikasi sumber impor produk utama, seperti membeli sebagian besar kedelai dari Brasil dan Argentina alih-alih dari AS.
Sebagai hasilnya, persentase barang China yang dijual ke AS pun menurun.
“Mereka lebih siap menyerap dampak guncangan dibanding beberapa tahun lalu,” kata Kennedy.
Sementara itu, lebih dari 80% ekspor Meksiko dan 75% ekspor Kanada bergantung pada AS.
China telah belajar dari pengalaman sebelumnya dengan Trump, kata Russel. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum menghadapi kebijakan perdagangan Trump yang berubah-ubah, dengan tarif yang diberlakukan dan kemudian ditunda dua kali untuk beberapa barang.
“Beijing telah melihat cukup banyak untuk menyadari bahwa menenangkan Trump tidak efektif,” kata Russel. Dalam pengalaman pertama, Trudeau dan Sheinbaum hanya bisa membeli sedikit waktu sebelum tekanan kembali dengan lebih kuat.
Trudeau terbang ke Mar-a-Lago untuk bertemu Trump pada Desember setelah presiden terpilih mengancam akan mengenakan tarif. Namun, saat mengumumkan tarif balasan pada Selasa, Trudeau dengan tegas memperingatkan, “Ini adalah waktu untuk melawan dengan keras dan menunjukkan bahwa konflik dengan Kanada tidak akan menghasilkan pemenang.”
Sheinbaum juga mengatakan bahwa “tidak ada yang menang dalam keputusan ini.”.[]