ORINEWS.id – Amerika Serikat (AS), yang kini dipimpin oleh Presiden Donald Trump, telah berubah haluan dalam konflik antara Rusia dan Ukraina. Washington kini mulai mendukung Moskow.
Lalu apa sebabnya? Berikut beberapa alasan mengapa AS kini terlihat mendukung Ukraina, dirangkum dari beragam sumber, Kamis (27/2/2025).
AS Ingin Segera Akhiri Perang Ukraina
Sejak menjabat, pemerintahan Trump mengatakan bahwa mereka setuju untuk mengadakan lebih banyak pembicaraan dengan pemerintah Presiden Rusia Vladimir Putin. Ini dilakukan untuk mengakhiri perang di Ukraina.
Pada pertengahan Februari lalu, AS dan Rusia telah melakukan pertemuan yang berlangsung di Riyadh, Arab Saudi. Dalam pertemuan, empat setengah jam di ibu kota Saudi berlangsung, Rusia memperkeras tuntutannya, terutama menegaskan tidak akan menoleransi aliansi NATO yang memberikan keanggotaan bagi Ukraina.
Ini adalah pertama kalinya pejabat AS dan Rusia duduk bersama untuk membahas cara menghentikan konflik paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia II (PD 2). Perlu diketahui penghentian perang yang AS danai, termasuk Ukraina, menjadi salah satu program kampanye Trump.
Meski demikian, sebenarnya pembicaraan itu sendiri tidak mengajak Ukraina di dalamnya. Bahkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan bahwa ia telah menunda kunjungan ke Arab Saudi yang direncanakan pada hari Rabu hingga bulan depan.
Sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan keputusan tersebut dibuat untuk menghindari pemberian “legitimasi” bagi perundingan AS-Rusia. Kyiv mengatakan perundingan tentang cara mengakhiri perang tidak boleh dilakukan tanpa sepengetahuan Ukraina.
Trump Buka-bukaan ‘Kangen’ Putin, Ingin Rusia Kembali Geng G-8
Beberapa waktu lalu Trump mengaku menginginkan kehadiran Rusia kembali dalam kelompok negara-negara ekonomi terkuat dunia, G8. Hal ini terjadi saat Trump terus memberikan sinyal bahwa dirinya akan memperbaiki hubungan antara Washington dan Moskow yang memburuk pasca perang Ukraina.
Dalam pernyataannya, Trump menegaskan kembali bahwa bergabungnya Rusia di G8 adalah sesuatu yang penting. Diketahui, Rusia sempat dikeluarkan dari kelompok itu pada tahun 2014 setelah melakukan aneksasi terhadap wilayah Semenanjung Krimea dari Ukraina.
“Saya ingin mereka kembali. Saya pikir adalah sebuah kesalahan untuk menyingkirkan mereka. Begini, ini bukan masalah menyukai Rusia atau tidak menyukai Rusia. Ini adalah G8,” kata Trump di Gedung Putih pekan lalu, seperti dikutip Russia Today.
Rusia menjadi anggota kelompok tersebut pada tahun 1997. Anggota kelompok itu sendiri juga meliputi Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, AS, dan UE.
Trump telah berulang kali mengkritik pengecualian Rusia dari kelompok itu dan melontarkan gagasan untuk mengembalikannya selama masa jabatan pertamanya. Pada saat itu, usulan tersebut ditolak oleh anggota klub G7 lainnya. Sementara Moskow sendiri tampaknya tidak menunjukkan minat untuk kembali.
Ingin Bekerja Sama di Bidang Ekonomi dengan Rusia
Ekonomi Rusia diketahui mengalami tekanan seiring dengan stimulus fiskal yang besar, suku bunga yang melonjak, inflasi yang sangat tinggi, dan sanksi Barat berdampak buruk pascaserangan Moskow ke Ukraina. Namun, setelah tiga tahun perang, AS justru bisa memainkan peran baru sebagai juru selamat.
Trump mendorong kesepakatan cepat untuk mengakhiri perang di Ukraina dengan mengambil sejumlah pernyataan keras kepada Ukraina, yang disalahkan atas terjadinya perang itu. Trump juga disebut sedang mempertimbangkan pencabutan sanksi terhadap Moskow.
“Dorongan Washington muncul saat Moskow menghadapi dua pilihan yang tidak diinginkan,” menurut mantan wakil ketua bank sentral Rusia, Oleg Vyugin, kepada Reuters, awal pekan ini.
“Rusia dapat menghentikan peningkatan pengeluaran militer saat menekan untuk mendapatkan wilayah di Ukraina atau mempertahankannya dan membayar harganya dengan pertumbuhan yang lambat selama bertahun-tahun, inflasi yang tinggi, dan standar hidup yang menurun, yang semuanya membawa risiko politik.”
Meskipun pengeluaran pemerintah biasanya merangsang pertumbuhan, pengeluaran non-regeneratif untuk rudal dengan mengorbankan sektor sipil telah menyebabkan pemanasan berlebihan. Hal ini kemudian membuat suku bunga sebesar 21% memperlambat investasi perusahaan dan inflasi tidak dapat dijinakkan.
“Karena alasan ekonomi, Rusia tertarik untuk menegosiasikan akhir diplomatik dari konflik tersebut,” tutur Vyugin.
“(Ini) akan menghindari peningkatan lebih lanjut dalam pendistribusian ulang sumber daya yang terbatas untuk tujuan yang tidak produktif. Itulah satu-satunya cara untuk menghindari stagflasi.”
Meskipun Rusia tidak mungkin dengan cepat mengurangi pengeluaran pertahanan, prospek kesepakatan dengan AS akan meredakan tekanan ekonomi lainnya. Ini dapat membawa keringanan sanksi dan akhirnya kembalinya perusahaan-perusahaan Barat.
“Rusia akan enggan menghentikan pengeluaran untuk produksi senjata dalam semalam, takut menyebabkan resesi, dan karena mereka perlu memulihkan angkatan darat,” tutur Alexander Kolyandr, peneliti di Pusat Analisis Kebijakan Eropa (CEPA).
“Tetapi dengan melepaskan beberapa tentara, itu akan sedikit mengurangi tekanan dari pasar tenaga kerja. Tekanan inflasi juga dapat mereda karena prospek perdamaian dapat membuat Washington kurang mungkin memberlakukan sanksi sekunder pada perusahaan-perusahaan dari negara-negara seperti China, membuat impor lebih mudah dan, oleh karena itu, lebih murah.”
[source:cnbcindonesia]