ORINEWS.id – Revisi Undang-Undang Kejaksaaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, khususnya penerapan Dominus Litis yang memperluas kewenangan kejaksaan dalam pengendalian atau penguasaan perkara.
“Secara teoritis, konsep Dominus Litis berasal dari bahasa Latin yang berarti “penguasa perkara” atau “pihak yang mengendalikan jalannya perkara.” Dalam sistem hukum pidana, istilah ini merujuk pada pihak yang memiliki kewenangan utama dalam menentukan apakah suatu perkara dapat dilanjutkan ke pengadilan atau tidak,” ujar Dr. Muhammad Hatta, S.H., LL.M, seorang akademisi yang juga Lektor Kepala Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh, Minggu, 23 Februari 2025.
Secara filosofis, kata dia, konsep ini berakar pada prinsip ius puniendi yakni hak negara untuk menghukum individu yang melanggar hukum. Dalam konteks ini, kejaksaan memiliki tanggung jawab sebagai perwujudan kekuasaan negara dalam penegakan hukum dengan mengontrol jalannya perkara guna mencapai keadilan substantif (justitia substansialis).
Namun, kewenangan pengendalian perkara bukan hanya kejaksaan saja tetapi ada pembagian kewenangan secara proporsional (Diferensiasi Fungsional ) dengan penegak hukum lainnya seperti kepolisian sebagai penyelidik/penyidik.
“Kewenangan jaksa sudah cukup banyak apalagi ditambah sebagai penyelidik dan penyidik. Sebaiknya jaksa dan penyidik Polri sebagai mitra sejajar dengan garis koordinasi yang terukur dan profesional. Namun, jika jaksa tetap dipaksakan menjadi penyelidik dan penyidik, maka cukup terhadap delik-delik tertentu dan delik khusus saja,” kata Muhammad Hatta.
Menurut Ahli Hukum Pidana itu, penambahan kewenagan jaksa sebagai penyelidik dan penyidik perkara-perkara umum dan menjadikan Polri sebagai pembantu/pelengkap dikhawatirkan akan terjadi gesekan antara lembaga penegak hukum. Dikhawatirkan akan terulang peristiwa Cicak Vs. Buaya versi terbaru antara institusi Polri dengan Kejaksaan RI.
Arah kebijakan hukum pidana dalam revisi undang-undang kejaksaan dan KUHAP semangatnya harus memperkuat lembaga yang sudah ada dengan menambah kewenangannya tanpa mengkerdilkan kewenangan dari lembaga lainnya.
Pemerintah harus memperkuat dan memperjelas kewenangan kejaksaan dalam beberapa hal seperti pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice), sistem peradilan pidana anak (SPPA), deferred prosecution agreement (DPA) dalam kejahatan korporasi, penegasan akuntabilitas dan transparansi kinerja jaksa penuntut umum dan mekanisme komplain serta pengawasan dalam pelaksanaan upaya paksa oleh jaksa.
Selain itu, perlu juga memperhatikan kewenangan yang kuat dimiliki kejaksaan lainnya, tetapi sayangnya tidak dimanfaatkan dengan baik, yakni soal asas oportunitas dimana jaksa dapat menghentikan perkara dengan membekukan perkara (deponeer).
“Jadi sebenarnya jaksa mempunyai kewenangan yang sangat besar dalam pengendalian perkara, tinggal lagi perlu penguatan dan penegasan secara spesifik dalam undang-undang,” pungkas akademisi yang sedang menunggu SK Guru Besar-nya, itu.[]