*Oleh: Awwaluddin Buselia
Kemenangan pasangan Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah (Dek Fadh) dalam Pilkada Aceh 2024 bukan hanya hasil dari popularitas individu, tetapi juga dari kerja keras tim yang solid dan strategi politik yang matang. Seperti dalam kisah The Three Musketeers: D’Artagnan, kemenangan ini diraih berkat peran para “Musketeers”—para pejuang di balik layar yang berjuang tanpa pamrih untuk memastikan kemenangan sang pemimpin.
Namun, kemenangan dalam Pilkada bukanlah akhir, melainkan awal dari tantangan yang lebih besar. Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang setelah meraih kekuasaan justru kehilangan dukungan akibat kegagalan dalam mengelola harapan rakyat dan menjaga stabilitas politik. Mualem harus belajar dari sejarah ini jika ingin mempertahankan legitimasi dan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat Aceh.
Tiga Tantangan Besar
Pertama, menjaga soliditas koalisi politik yang telah terbentuk selama masa kampanye. Kemenangan yang diraih dengan susah payah bisa goyah jika komunikasi dan kepentingan politik di dalam koalisi tidak dikelola dengan baik. Mualem harus mampu merangkul semua elemen pendukungnya dan memastikan bahwa tidak ada perpecahan di dalam tubuh koalisi yang bisa dimanfaatkan oleh pihak lawan.
Kedua, merealisasikan janji-janji kampanye. Rakyat Aceh memilih Mualem dengan harapan akan adanya perubahan nyata di bawah kepemimpinannya. Jika janji-janji kampanye tidak segera diwujudkan, dukungan yang kini kuat bisa berubah menjadi kekecewaan dan kemarahan. Kejelasan program kerja serta eksekusi yang cepat dan tepat adalah kunci utama untuk mempertahankan kepercayaan publik.
Ketiga, pembagian peran antara Gubernur dan Wakil Gubernur harus berjalan harmonis. Sejarah politik Aceh menunjukkan bahwa disharmoni antara pemimpin utama dan wakilnya sering kali berujung pada ketidakefektifan pemerintahan. Mualem dan Dek Fadh harus membangun komunikasi yang baik serta memahami batasan dan peran masing-masing demi kelancaran jalannya pemerintahan.
Musketeers Baru atau Lama?
Pertanyaan besar yang kini muncul adalah, apakah para Musketeers yang berjuang dalam Pilkada akan tetap bertahan dalam pemerintahan, atau akan muncul figur-figur baru yang menggantikan mereka? Politik sering kali menunjukkan bahwa loyalitas dalam perjuangan tidak selalu sejalan dengan loyalitas dalam pemerintahan. Mualem harus bijak dalam memilih orang-orang yang akan mengelilinginya, memastikan bahwa mereka bukan hanya sekadar loyal, tetapi juga kompeten dan memiliki integritas dalam menjalankan pemerintahan.
Jika Mualem gagal mengelola tantangan-tantangan ini, kemenangan yang diraih dengan susah payah bisa berubah menjadi kekecewaan dalam waktu yang singkat. Namun, jika ia mampu memanfaatkan kekuasaan secara efektif dan memenuhi ekspektasi rakyat, maka era kepemimpinannya dapat menjadi titik balik bagi kemajuan Aceh.
Rakyat Aceh menaruh harapan besar kepada Mualem. Kini, bola ada di tangannya. Apakah ia akan menjawab harapan itu dengan kerja nyata atau justru terjebak dalam dinamika politik yang menggerus kepercayaan publik? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Penulis adalah Pengamat Politik