Konflik Aceh: Kisah TNI Tembak Intel Kopassus yang Menyamar Jadi Pedagang Durian

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

ORINEWS.id – Misi yang dijalankan oleh Sersan Badri—nama samaran, menggambarkan sekelumit kisah agen intelijen TNI dalam menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama masa darurat militer 2003.

Dilansir dari buku Kopassus untuk Indonesia Senin, 17 Februari 2025, untuk dapat bergerak bebas dan mengumpulkan informasi, Badri menyamar sebagai pedagang durian yang sering bepergian dari Medan, Sumatera Utara, hingga Lhokseumawe, Aceh Utara.

Advertisements

Dalam kurun waktu satu tahun, ia berhasil membangun kepercayaan dengan simpatisan GAM dan memetakan situasi di daerah yang menjadi basis utama kekuatan militer kelompok separatis tersebut.

Mendapat Kepercayaan dari GAM

Kesetiaan Badri diuji saat ia diminta menyembunyikan istri salah satu panglima GAM yang sedang hamil. Demi memperoleh kepercayaan lebih dalam, ia menyewa tiga tempat di Lhokseumawe untuk melindungi wanita tersebut selama tiga bulan.

Advertisements

Selain itu, Badri beberapa kali membocorkan gerakan patroli TNI agar GAM dapat menghindari serangan langsung.

Karena penyamarannya, Badri sering menghadapi risiko besar, termasuk tertembak oleh rekan-rekannya sendiri sesama TNI saat GAM terjebak dalam pertempuran. Hanya petinggi TNI yang mengetahui identitas aslinya.

Mengungkap Perdagangan Senjata dan Ganja

Salah satu keberhasilan intelijen Badri adalah saat ia mendapatkan informasi mengenai bongkar muat 125 pucuk senapan milik GAM yang berasal dari Thailand dan Malaysia. Ia kemudian menyusup ke markas GAM di Blang Ngara, Aceh Utara, saat senjata-senjata itu tiba.

Karena dianggap sebagai simpatisan terpercaya, Badri bahkan diminta melatih serdadu GAM dalam menembak dan merawat senjata. Kesempatan ini ia manfaatkan untuk menyabotase senjata SS-1 dan AK-47 milik GAM dengan menggeser alat bidik sehingga tembakan mereka menjadi tidak akurat.

Selain senjata, Badri juga mengungkap sumber utama keuangan GAM, yang berasal dari perdagangan ganja kering di Aceh Timur dan Aceh Utara. Ganja ini dikirim melalui jalur laut ke Malaysia. Selain itu, pemerintah setempat, perusahaan besar seperti Exxon Mobil, Pupuk Iskandar Muda, ASEAN Fertilizer, serta warga Aceh diwajibkan memberikan “upeti” kepada GAM.

Operasi Penyergapan Petinggi GAM

Dengan diberlakukannya darurat militer, sekitar 40 batalyon TNI mengepung Aceh. GAM semakin terdesak akibat menipisnya amunisi dan logistik mereka.

Berdasarkan informasi yang diberikan Badri, TNI merencanakan operasi penyergapan terhadap tiga tokoh utama GAM yakni, Muzakir Manaf (kini jadi Gubernur Aceh), Sofyan Dawood, dan Said Adnan, usai Hari Raya Idul Fitri tahun 2004.

Sehari sebelum operasi dilakukan, Badri telah kembali ke Jakarta setelah berpamitan dengan petinggi GAM tersebut.

“Semua tokoh kunci yang menjadi sasaran berada di Cot Girek. Hingga saya pamit meninggalkan mereka pukul 15.00 WIB. Saya pun sempat memberi informasi terakhir kepada induk pasukan soal hari dan jam serangan ditetapkan,” ungkap Badri dalam buku Kopassus untuk Indonesia.

Saat Kopassus menyerbu markas GAM di Cot Girek, Muzakir Manaf dan Sofyan Dawood berhasil lolos ke Nisam, Aceh Utara, pada malam sebelumnya. Namun, Said Adnan dan ajudannya—seorang desertir TNI—tewas dengan luka tembak di dada dan perut.

Pada Desember 2004, bencana tsunami Aceh terjadi, menyebabkan dampak besar bagi seluruh wilayah. Seiring masuknya bantuan kemanusiaan ke Aceh, gerakan separatis GAM mulai meredup.

Akhirnya, pada 15 Agustus 2005, Pemerintah RI dan GAM mencapai kesepakatan damai dalam Perjanjian Helsinki, yang menjadi akhir dari konflik panjang di Aceh.[]

Exit mobile version