TERBARU

Opini

Graffiti ‘Adili Jokowi’ Marak di Berbagai Kota, Tidak Perlu Ada yang Kebakaran Jenggot

image_pdfimage_print

*Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes

Advertisements
DPRA - PELANTIKAN GUBERNUR ACEH

Dalam seminggu terakhir ini, ruang publik Indonesia dihiasi (baca: bukan dikotori) dengan Grafiti yang pada intinya berdasar kepada dua kata utama “Adili Jokowi“.

Advertisements
BANK ACEH KS - PELANTIKAN BUPATI ACEH TAMIANG

Ini adalah sebuah seruan yang sederhana, namun lugas dan tegas dari keinginan sebagian besar masyarakat–yang masih waras–untuk mendesak aparat hukum melakukan tindakan tegas kepada Jokowi atas kelakuannya, alias tindakan pelanggaran hukumnya di masa rezim satu dasawarsa alias 10 tahun pemerintahannya yang sangat amburadul alias ugal-ugalan kemarin.

Vandalisme ‘Adili Jokowi’ – Terdapat 15 titik lokasi coretan di dinding

Sekali lagi sebagaimana tulisan sebelumnya; “Setelah Sirkus, Sekarang ada Demo di depan rumah Jokowi”, 8/2/2025, saya tetap menyebut ekspresi masyarakat yang diwujudkan dengan coretan di berbagai ruang publik ini sebagai Graffiti dan menolak keras bilamana ada oknum-oknum atau pihak-pihak yang pikirannya sudah sesat yang berusaha keras men-downgrade-nya menjadi “Vandalisme” dan kesannya sangat negatif, terwelu.

BACA JUGA
Jargon "Menuju Aceh Selatan Produktif" Ala Haji Mirwan untuk Perekonomian Berkelanjutan
PEMA - PELANTIKAN GUBERNUR ACEH

Mereka berusaha menekan berbagai media mainstream untuk menyebut atau menuliskannya begitu, meski Alhamdulillah Indonesia memiliki banyak media alternatif yang masih berpikiran jernih dan menuliskannya sebagai “Graffiti”.

Secara detil, Graffiti “Adili Jokowi” terdapat di Solo, Jogja, Medan, Malang, Surabaya, dst.

Di Solo antara lain ada di Jl Profesor Dr Soeharso, Jl Moh Husni Thamrin, Jl Samratulangi, Jalan Ki Hajar Dewantoro, dan Jalan Tentara Pelajar.

Sementara di Jogja terdapat di 15 titik, antara lain di halte Trans Jogja di Jalan Sultan Agung, Jembatan Layang Lempuyangan, Simpang Empat Jetis, Stasiun Lempuyangan, halte depan Taman Makam Pahlawan di Jalan Kusumanegara, halte dan dinding depan Pura Pakualaman di Jalan Sultan Agung, serta dinding pertigaan Stadion Mandala Krida di Jalan Gayam.

Sedangkan di Kota Medan terdapat di Jalan Jamin Ginting, Jalan Ngumban Surbakti, Jalan Setia Budi, Jalan Wiliam Iskandar, Jalan Sutrisno dan sejumlah kawasan lainnya.

Kemudian di Kabupaten Malang terlihat di Pakishaji, di Tugu Perbatasan Masuk Kota Kepanjen, tepatnya di Jalan Raya Mojosari, Dusun Dawuhan, Desa Jatirejoyoso, Kecamatan Kepanjen. Bahkan ada yang dikantor partai.

Di antaranya di Kantor DPC PPP di Jalan KH Agus Salim, Kelurahan Talangagung, Kecamatan Kepanjen.

Kemudian, di Kantor DPD NasDem Jalan Raya Sukoharjo, Dusun Blobo, Desa Sukoharjo, Kecamatan Kepanjen.

Di Surabaya, tulisan serupa terlihat di Jalan Raya Jemursari, tepatnya sebelum arah Plaza Marina, di Jalan Raya Prapen, Kendangsari, Kecamatan Tenggilis Mejoyo.

Sebenarnya soal Graffiti “Adili Jokowi” ini tidak perlu ada yang kebakaran jenggot hingga pikiran katrok yang masih saja menuduh gerakan ini ada kaitannya dengan kekalahan pilpres tahun 2024 lalu, karena orang yang berpikiran begitu pasti otaknya dihantui oleh kesalahannya sendiri.

BACA JUGA
Sandera Israel Puji Hamas, Maki-maki Netanyahu: Anda Gagal Bebaskan Kami

Sebab Graffiti telah ada sejak zaman kuno dan mengalami perkembangan seiring waktu, bahkan sejak Zaman Prasejarah.

Graffiti pertama kali muncul dalam bentuk lukisan gua yang dibuat oleh manusia purba.

Contohnya adalah lukisan di Gua Lascaux (Prancis) dan Altamira (Spanyol) yang berusia sekitar 17.000 tahun.

Lukisan ini menggunakan pigmen alami untuk menggambarkan hewan, manusia, dan simbol misterius.

Di Indonesia hal sejenis terdapat di Gua Leang-leang di Sulawesi Selatan.

Fungsinya bisa sebagai ritual spiritual, komunikasi, atau penanda perburuan.

Selanjutnya di Zaman Romawi & Yunani Kuno Graffiti banyak ditemukan di dinding kota, kuil, dan tempat umum.

Biasanya berupa coretan Politik, sindiran sosial, atau ekspresi pribadi.

Contoh terkenal ditemukan di Pompeii, Kota Romawi yang tertutup abu vulkanik dari letusan Gunung Vesuvius tahun 79 M yang berisi protes politik, humor kasar, dan bahkan iklan.

Saat masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia di tahun 1945-1949 pun Graffiti digunakan sebagai media perlawanan terhadap penjajah, baik Jepang, maupun Belanda dan Sekutu yang mau menjajah kembali.

Saat itu para pemuda Indonesia sering menuliskan slogan-slogan di tembok dan gerbong kereta, seperti: “Merdeka atau Mati!”, “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!” dsb.

Graffiti telah berkembang dari lukisan gua hingga menjadi alat komunikasi sosial dan politik.

Hingga kini, grafiti tetap digunakan sebagai media ekspresi, protes, atau seni jalanan di berbagai belahan dunia bahkan dihubungkan dengan teknologi komputer seperti kalimat “404-Not Found”.

Padahal aslinya “404 Not Found” adalah kode status HTTP yang menandakan bahwa halaman atau sumber daya yang dicari di sebuah website tidak ditemukan di server.

Istilah ini pertama kali digunakan dalam protokol HTTP pada 1992 oleh Tim Berners-Lee, pencipta World Wide Web.

Angka 404 berasal dari standar kode status HTTP yang ditetapkan oleh Internet Engineering Task Force (IETF).

BACA JUGA
Menelanjangi Retorika Palsu

Di Indonesia uniknya Graffiti yang menggambarkan wajah yang disebut mirip Jokowi dengan tulisan “404 Not Found” sempat viral di Indonesia sebagai bentuk kritik sosial dan politik.

Muncul sekitar tahun 2021 sebagai Graffiti besar di salah satu Kolong Flyover di seputaran Batuceper, Tangerang, “404 Not Found” dalam konteks ini digunakan sebagai simbol kritik terhadap kepemimpinan Jokowi yang menunjukkan bahwa kebijakan atau kepemimpinan yang diharapkan tidak ditemukan.

Beberapa Pengamat Politik menyebutkan graffiti ini merujuk pada kebebasan berpendapat yang semakin dibatasi, terutama setelah beberapa kasus pembungkaman kritik terhadap pemerintah.

Dungunya, aparat langsung menghapus atau menimpa cat terhadap Graffiti kreatif yang disebut mirip Jokowi dan “404-Not Found” tersebut.

Banyak muncul diskusi di media sosial mengenai batas antara Graffiti dan kebebasan berekspresi, bahkan saya sempat jadi Narasumber acara diskusi Live “Catatan Demokrasi” 17/08/21: https://youtu.be/wN9OBRO6Lt0 .

Meski Graffiti “404 Not Found” saat itu saya katakan tidak mirip tetapi toh dihapus juga oleh aparat.

Namun ini contoh bagaimana seni jalanan digunakan sebagai medium kritik politik yang sah sebagaimana sejarahnya sejak dulu.

Kesimpulannya, Graffiti “Adili Jokowi” ini adalah salah satu ekspresi yang sah dan dilindungi kebebasan demokrasi.

Meskipun sebagian orang yang berpikiran picik menyebutnya dengan “Vandalisme”, mereka mungkin tidak pernah belajar sejarah sebagaimana yang sudah ditulis diatas, mulai zaman Prasejarah di Gua Leang-leang Sulsel hingga zaman Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Sebenarnya aksi ini tidak boleh berhenti sampai hanya Graffiti saja, Snowballing-Effect yang diikuti dengan demo hingga People-power sewarasnya dilakukan, sebagaimana yang akan saya tuliskan dalam buah pena selanjutnya, Indonesia harus bergerak dan tidak boleh hanya berserah atau yang bahkan sampai membuat sebagian masyarakat memilih aksi sesuai trending topic #KaburAjaDulu …

Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.