Inpres 1/2025 dan Potensi ‘Ancaman Anggaran’ Pemerintahan Mualem-Dek Fadh

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

ORINEWS.id – Presiden Prabowo Subianto, akhirnya menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, tanggal 22 Januari 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD tahun anggaran 2025.

Isinya, Prabowo menginstruksikan kementerian dan lembaga melakukan review, sesuai tugas dan kewenangan dalam rangka efisiensi. Ada tujuh poin instruksi Prabowo dalam rangka efisiensi anggaran tersebut.

Pada poin kedua contohnya, Prabowo menginstruksikan agar ada efisiensi anggaran belanja negara tahun anggaran 2025 sebesar Rp 306 triliun lebih. Anggaran itu terdiri dari, belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp50,5 triliun lebih.

Poin ketiga, Prabowo meminta menteri dan pimpinan lembaga negara, mengidentifikasi rencana efisiensi yang meliputi belanja operasional dan non-operasional seperti, belanja operasional kantor, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, hingga pengadaan alat dan mesin.

Arahan tegas Presiden Prabowo kepada kepala daerah adalah; membatasi belanja untuk kegiatan yang bersifat seremonial, studi banding, hingga seminar FGD.

Tak hanya itu, Pemda juga diminta mengurangi perjalanan dinas sebesar 50 persen. Termasuk membatasi belanja honorarium melalui pembatasan jumlah tim dan besaran gaji.

Khusus untuk Dana Alokasi Khusus atau DAK Fisik, disediakan sebesar Rp18,3 triliun lebih, sedangkan dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh dan Papua disediakan Rp509,4 miliar lebih atau tak mencapai satu triliun.

Memang tidak dirincikan secara khusus, berapa jatah Aceh dan Papua dari total Rp509 miliar lebih ini. Tapi, diasumsi dibagi dua, maka Aceh dan Papua akan mendapat jatah masing-masing Rp250 miliar.

Khusus untuk Keistimewaan Yogyakarta, pemerintah menyediakan anggaran Rp200 miliar. Sementara untuk dana desa, disediakan Rp2 triliun.

Itu sebab, Presiden Prabowo meminta Mendagri untuk melakukan pemantauan efisiensi belanja yang dilakukan para Gubernur, Bupati dan Walikota, dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran 2025. Termasuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna pengelolaan APBD tahun anggaran 2025 dalam rangka pelaksanaan Inpres ini.

Secara khusus, Presiden Prabowo juga meminta Menkeu Sri Mulyani menetapkan besaran efisiensi anggaran belanja masing-masing kementerian/lembaga.

Keenam, Presiden meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP untuk mengawasi pelaksanaan Instruksi Presiden ini.

Terakhir, Presiden Prabowo meminta para menteri merah putih, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, para kepala lembaga pemerintah non kementerian, para pimpinan kesekretariatan lembaga negara, para gubernur dan bupati serta walikota, melaksanakan Inspres ini dengan penuh tanggungjawab dan menjaga tata kelola yang baik.

Menjadi pertanyaan kemudian adalah, apa pengaruh dan dampaknya bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh atau APBA 2025? Ketua Umum Forum Jurnalis Aceh (FJA) Muhammad Saleh SE, M,M berpendapat. Secara khusus, pemerintah baru Aceh dibawah komando H. Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhullah alias Dek Fadh, harus melakukan efisiensi anggaran daerah. Caranya, dengan melakukan pengurangan belanja operasional, khususnya SPPD, ATK dan lainnya.

“Ini sesuai perintah Inspres Presiden Prabowo tadi dengan memotong SPPD (50%), penghematan cetak, ATK, dan lainnya. Tentu, langkah ini akan mengurangi pengeluaran operasional di setiap SKPD. Sebaliknya, kebijakan ini juga bisa berdampak pada efektivitas pelayanan kepada publik jika tidak dikelola dengan baik,” ulas Shaleh, begitu dia akrab disapa.

Karena itulah, pemerintahan Mualem-Dek Fadh pada tahun 2025 menurut Shaleh, harus fokus pada fungsi utama SKPD. Artinya, para SKPD hanya menjalankan tugas utamanya. Ini berarti program-program tambahan atau inovasi yang tidak relevan dengan tugas pokok, harus dihentikan.

Kedua, terjadinya penghapusan DAU pada sektor infrastruktur atau pekerjaan umum dan pemotongan DAK Fisik 50 persen. Diakui atau tidak ungkap Shaleh, akan langsung berdampak pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Aceh seperti jalan, jembatan, dan fasilitas publik lainnya.

“Maka, bukan tidak mungkin, proyek-proyek besar di Aceh akan tertunda. Karena infrastruktur adalah salah satu sektor terbesar dalam anggaran daerah. Makanya, pengurangan ini dapat menyebabkan proyek strategis nasional di Aceh terhenti atau mungkin juga akan berjalan lambat,”kata dia.

Ketiga, Inspres No: 1/2025 juga melakukan pengurangan DBH (Dana Bagi Hasil). Dampak akan terjadi krisis likuiditas di Aceh. Artinya, jika dana bagi hasil yang kurang transfer, maka tidak ditransfer lagi. Akibatnya, Aceh akan mengalami kekurangan pendapatan secara signifikan.

Hal ini akan memengaruhi pembiayaan rutin daerah, terutama sektor yang bergantung pada DBH seperti pendidikan dan kesehatan. Karena itu diperlukan penyesuaian besar yaitu, Aceh harus mencari sumber pendapatan alternatif atau melakukan efisiensi besar-besaran untuk menutupi defisit akibat pengurangan ini.

Keempat khusus mengenai pemotongan dana Otsus. Nah, jika Aceh dipotong atau mendapat Rp 250 miliar pada tahun 2025, maka sangat berpengaruh pada program strategis. Sebab, selama ini dana Otsus digunakan untuk program khusus seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

“Pemotongan Rp250 miliar atau lebih akan memaksa Aceh untuk merevisi skala prioritas pada tiga sektor tadi. Dan ini menjadi tantangan bagi tim penyusunan RPJM pemerintahan Mualem-Dek Fadh yang sedang bekerja saat ini,” ujar Shaleh.

Lalu, muncul juga dampak sosial dan ekonomi sebagai akibat dari efisiensi atau berkurangnya dana untuk pelayanan publik. Ini juga dapat berdampak pada kualitas layanan publik jika tidak diimbangi dengan manajemen yang baik.

Selain itu, akan memunculkan pengangguran dan perlambatan ekonomi, karena proyek infrastruktur yang terhambat, sehingga dapat mempengaruhi sektor ketenagakerjaan dan aktivitas ekonomi lokal, yang sebagian besar bergantung pada belanja pemerintah.

Lantas, peluang dan langkah strategis apa yang harus dilakukan Mualem-Dek Fadh pada tahun pertama menjalankan roda Pemerintah Aceh? Pertama kata Shaleh, tentu saja melakukan optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Mualem-Dek Fadh harus lebih kreatif dalam menggali sumber-sumber PAD, seperti pariwisata, investasi, atau pengelolaan sumber daya alam.

Kedua, melakukan efisiensi belanja Non-Prioritas seperti, pemotongan pengeluaran SPPD dan ATK yang perlu dikelola secara strategis. Tujuannya, memastikan bahwa efisiensi ini tidak mengganggu pelayanan esensial.

Ketiga, penguatan dana Desa dan CSR (Corporate Social Responsibility). Dalam kondisi terbatas, program berbasis dana desa atau CSR dari perusahaan lokal, dapat menjadi alternatif untuk membiayai proyek kecil.

Itu sebab, Mualem-Dek Fadh harus menyusun ulang prioritas anggaran, khususnya yang fokus pada kebutuhan utama dan program prioritas, sambil mencari sumber pendapatan alternatif, baik dari PAD maupun kolaborasi dengan sektor swasta.

“Yang tak kalah penting adalah, melakukan tata kelola pemerintahan, khususnya anggaran secara lebih efisiensi dan cermat agar tidak mengurangi kualitas pelayanan publik,” saran Shaleh.

Berikutnya, melobi pemerintah pusat (Presiden Prabowo) untuk menyediakan alokasi dana tambahan, jika Inpres tadi terlalu besar berdampak pada daerah atau Aceh.

Nah, jika tidak dikelola dengan baik, maka APBA tahun 2025 diprediksikan oleh Shaleh, akan berisiko menghadapi defisit yang signifikan, sehingga dapat menghambat pembangunan, dan meningkatkan beban sosial-ekonomi masyarakat.[]