KKP Abai Terhadap Perampasan Laut dan Hak Nelayan Kecil
ORINEWS.id -Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dan pagar laut di perairan merupakan bentuk nyata pengkaplingan atau privatisasi sumber daya laut sebagai parampasan hak masyarakat pesisir.
Selain itu telah terbit Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan pesisir Banten yang merupakan bentuk nyata privatisasi perairan.
Ekomarin menilai tindakan ini menunjukkan bahwa pemerintah telah membiarkan terjadi ketidakadilan sosial terjadi yang mengakibatkan nelayan kecil menjadi korban ketidakadilan karena akses dan kontrol atas laut dirampas.
“Pembiaran pemerintah dalam Proyek PSN PIK 2 dan pagar laut ini telah nyata melanggar hukum dan membiarkan korporasi mendapatkan keistimewaan dibandingkan rakyat nelayan dan masyarakat pesisir Banten,” kata Program Officer Ekomarin, Oktrikama Putra kepada RMOL, Minggu malam, 19 Januari 2025.
Secara khusus, Ekomarin memberi perhatian khusus atas sertifikat HGB di perairan seluas 300 hektar yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang. Terbitnya HGB di perairan pesisir ini menunjukkan pemerintah menganggap perairan serupa layaknya tanah pada kepulauan dan daratan.
“Merunut ke belakang, munculnya pengaturan HGB di perairan adalah untuk mengakui hak atas tempat tinggal masyarakat adat laut yang membangun di atas perairan. Tetapi melihat realitas yang terjadi di perairan pesisir provinsi Banten menunjukkan hal yang sebaliknya,” jelas Putra.
HGB tersebut dilegitimasi oleh aturan turunan rezim UU Cipta Kerja/Omnibus Law dalam PP 18/2021 dan PP 43/2021. Sebelumnya telah ada Permen ATR/BPN No. 17/2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjadi legitimasi hukum terhadap HGB di perairan tersebut.
Dalam Pasal 65 ayat (2) PP 18/2021, menunjukkan bahwa pemberian HGB tersebut diterbitkan oleh perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kemudian dalam Pasal 17 PP 43/2021 menunjukkan kontradiksi pengaturan karena : memutihkan dan legalisasi pelanggaran adanya hak atas tanah yang diterbitkan di wilayah perairan.
“Dalam kewajiban memberikan ruang dan akses kepada nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam yang menunjukkan pemerintah yang menerbitkan aturan tidak memahami realitas sosial ketimpangan kuasa antara nelayan dengan pemilik modal yang merupakan unequal treatment yang melanggar konstitusi UUD 1945,” tegas Putra.
Terhadap Proyek PSN PIK 2- Pagar Laut dan pengkavlingan perairan ini, Kholid Miqdar, selaku Nelayan Banten yang juga tergabung dalam FKPN Banten merupakan salah satu dari ribuan Nelayan yang merasakan dampak dari Proyek PSN PIK 2 dan pagar laut tersebut.
Pasalnya meskipun pagar bambu tersebut berada di Kabupaten Tangerang akan tetapi Nelayan yang berada di seputaran Jakarta juga merasakan dampak dari hal tersebut.
“Kami menuntut lima hal, pertama, laut kami jangan dikavling dan diprivatisasi, lalu ditransaksikan. Kedua, tambak dan sawah kami jangan diurug untuk kepentingan pengusaha rakus tanah. Ketiga, kami rakyat negara Indonesia tidak ingin dikuasai dan dikendalikan oleh korporasi yang diistimewakan. Keempat, kedaulatan negara tidak boleh kalah dengan oligarki. Terakhir, jika instrumen negara tidak digunakan untuk mengurus kami, maka kami akan melawan sendiri korporasi itu,” pungkas Kholid.
Ekomarin melihat sejak masalah PSN PIK 2 dan pagar laut muncul ke publik pada Oktober 2025, seharusnya pemerintah baik daerah dan pusat telah turun tangan secara tegas.
“Pengawasan laut pemerintah terlihat lemah tetapi sangat jelas KKP tidak melindungi laut dari perampasan dan pengkavlingan laut yang terjadi. KKP sebagai pihak yang memberikan izin dalam terbitnya hak atas tanah di perairan,” ungkap Putra.
Menurut dia, peran Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono ataupun jajarannya terlihat jelas secara aktif memberikan izin ataupun rekomendasi membiarkan terbitnya HGB di perairan merupakan tindakan kejahatan perampasan laut.
Atas tindakan kesengajaan dengan adanya pembiaran tersebut, Ekomarin bersama dengan FKPN Banten menyatakan tindakan tersebut adalah pelanggaran konstitusi UUD 1945, dan hak asasi manusia salah satunya jelas melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.
Tindakan khusus dan mendesak adanya tindakan tegas hukum pidana terhadap terduga pelaku baik individu termasuk khususnya korporasi pelaku perampas laut. Terduga pelaku terancam pidana dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil dalam Pasal 73 ayat (1) huruf g, dan Pasal 75 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil