TERBARU

NasionalNews

Sri Sultan Ingin Terhindar dari Energi Negatif

image_pdfimage_print

ORINEWS.id – Kerabat Pakualaman Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KMRT) Roy Suryo, mengungkapkan pandangannya terkait pertemuan antara Presiden ke-7, Joko Widodo, dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang berlangsung di Keraton Kilen pada Rabu, 15 Januari 2025.

Meskipun pertemuan tersebut berlangsung selama 1,5 jam dan membahas sejumlah isu penting, perhatian publik malah terfokus pada corak batik yang dikenakan oleh kedua tokoh tersebut.

Jokowi mengenakan batik warna biru dengan motif mirip naga, sementara Sri Sultan mengenakan batik dengan corak abstrak.

Sebelum ke motif batik, Roy Suryo menjelaskan bahwa pemilihan lokasi pertemuan di Keraton Kilen, dan bukan di Gedung Kepatihan, juga mengandung makna yang lebih dalam. Menurutnya, Keraton Kilen yang menjadi simbol dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Lokasi penerimaan ini meski tak banyak dibahas di media (kebanyakan menyoroti soal Hari dan Batik yang digunakan saja), cukup penting dan menjelaskan masing-masing statusnya, meski ada juga netizen yang berkelakar antara Raja Jawa yang asli dan Palsu, ada-ada saja,” kata Roy Suryo kepada RMOL, Jumat 17 Januari 2025.

Selain itu, kata Roy Suryo, pemilihan tanggal Rabu Legi, yang jatuh pada 15 Januari 2025, juga memiliki makna tersendiri.

Dalam tradisi Jawa, angka Neptu yang terbentuk dari perhitungan hari Rabu (7) dan Legi (5) menghasilkan angka 12, yang dianggap memiliki makna khusus.

Angka ini dipandang membawa energi stabil, harmonis, serta kebijaksanaan sebuah pertanda bahwa pertemuan tersebut memiliki makna penting, baik dalam konteks spiritual maupun hubungan formal antara Sri Sultan dan Jokowi.

“Dengan kata lain, pemilihan hari tersebut bagus untuk memulai sesuatu yang baru atau mempererat hubungan, baik secara personal maupun formal, sebagaimana kita tahu memang ada beberapa hal yang perlu didiskusikan antara Ngarso Dalem Sri Sultan HB X selaku Raja Jawa (asli) tersebut dan Jokowi,” kata Roy Suryo.

BACA JUGA
Pj Gubernur Safrizal: 20 Tahun Tsunami Momentum Refleksi dan Solidaritas Global

Namun, masih kata Roy Suryo, yang paling menarik perhatian adalah makna dari motif batik yang dikenakan kedua tokoh tersebut.

Ia mengurai bahwa batik yang dikenakan Jokowi memiliki motif naga, yang dalam mitologi Jawa dikenal dengan nama Antaboga.

Antaboga, yang digambarkan sebagai naga berkepala mahkota dan bertubuh sakti, dipercaya dapat menolong manusia dalam situasi genting, bahkan dianggap sebagai penyebab gempa bumi dalam cerita pewayangan. Motif ini mengandung simbol kekuatan, perlindungan, dan keharmonisan.

Di sisi lain, batik yang dikenakan Sri Sultan adalah Batik Gringsing, yang memiliki arti “tidak sakit” atau “terbebas dari penyakit.”

“Batik Gringsing dipercaya telah ada sejak zaman Mataram Kuno dan memiliki hubungan erat dengan simbolisme spiritual dalam kebudayaan Jawa. Motif ini sering diasosiasikan dengan perlindungan dari energi negatif dan membawa kedamaian, keseimbangan serta kesehatan,” jelas mantan Menteri Pemuda dan Olahraga ini.

Dalam budaya Jawa, lanjut Roy Suryo, Batik Gringsing juga sering digunakan dalam ritual atau acara penting karena diyakini memiliki nilai spiritual yang membawa keberuntungan dan harmoni.

“Kesimpulannya jelas, makna keseluruhan antara Batik Gringsing yang dikenakan Ngarso Dalem Sri Sultan HB X selaku Raja Jawa (asli) saat menerima JokoWi pada hari Rabu Legi 15/01/25 kemarin di Kraton Kilen, bukan Kepatihan,” tutupnya.

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.