Alasan Pagar Laut PIK 2 Dibikin Warga Swadaya tak Masuk Akal, Logika Maling Tertangkap Basah!

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

ORINEWS.id – Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR) Ahmad Khozinudin menegaskan, dalih pemagaran laut untuk proyek PIK 2 sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, yang diklaim dilakukan oleh warga secara swadaya untuk mencegah abrasi dan mitigasi tsunami, seperti alibi maling yang tertangkap basah.

Hal tersebut ditegaskan Khozinudin kepada Inilah.com di Jakarta, Minggu (12/1/2025), menanggapi klaim nelayan yang tergabung Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang, bahwa pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang terbentang di laut pantai utara (Pantura) di daerah itu dibangun sebagai mitigasi bencana tsunami dan abrasi.

Khozinudin menekankan, alasan pagar sepanjang 30,16 km dibuat oleh warga secara swadaya, tidak masuk akal karena beberapa sebab. Pertama, kata dia, biaya untuk membuat pagar laut sepanjang 30,16 km jelas mahal, yaitu mencapai puluhan miliar rupiah. 

“Dana sebesar ini tidak mungkin dikumpulkan dari warga pesisir pantai yang mayoritas bekerja sebagai nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan saja sulit, apalagi harus mengeluarkan uang miliaran untuk membuat pagar laut,” ujarnya.

Kedua, lanjut Khozinudin, warga pesisir yang bekerja menjadi nelayan justru merasa terganggu oleh pagar laut karena menghalangi akses dan mobilitas nelayan untuk melaut menangkap ikan. “Tidak mungkin, nelayan membuat dan membiayai pagar yang menyusahkan aktivitas mencari ikan, atau menyusahkan penghidupan mereka sendiri,” tegasnya.

Ketiga, kata dia, pagar dengan konstruksi bambu anyaman itu tidak mungkin mencegah abrasi. Apalagi posisinya menjorok ke laut. “Abrasi apa yang bisa dicegah dengan pagar konstruksi dari anyaman bambu? Apalagi, untuk tujuan pemecah ombak. Tidak nyambung!” jelas Khozinudin menekankan.

Kemudian keempat, sambung Khozinudin, nelayan paling takut dengan aparat. “Pagar laut ini dibuat tanpa Izin. Mana mungkin, nelayan warga setempat berani membuat pagar swadaya tanpa izin?” kata dia.

Selanjutnya kelima, tambah Khozinudin, di sekitar pagar itu ada pemerintahan dan aparat desa, sehingga tak mungkin mendiamkan dan tidak melaporkan pagar ini ke pemerintah pusat. “Tak mungkin, pagar ini lama menjadi misteri jika benar itu swadaya dari warga,” tegas dia lagi.

Jadi, kata Khozinudin, semua alibi tentang pagar laut itu cuma logika maling tertangkap basah. 

“Mau lempar tanggung jawab. Yang harusnya paling bertanggung jawab adalah Aguan dan kaki tangannya, yaitu Ali Hanafiah Lijaya, Engcung, dan Memed,” ujar Khozinudin.

Pagar itu, menurut dia, dibuat sebagai prakondisi untuk mengokupasi laut dan bibir pantai untuk direklamasi dan dijadikan asas produksi industri properti. “Di atas pagar itu sudah ada sejumlah alas hak yang diterbitkan, yang kemudian akan direklamasi dengan dalih mengembalikan tanah darat yang terkena abrasi,” ungkap Khozinudin.

Diklaim untuk Cegah Abrasi dan Mitigasi Tsunami

Nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang, Banten, mengklaim pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang terbentang di laut Pantura di daerah itu dibangun sebagai mitigasi bencana tsunami dan abrasi.

Koordinator JRP, Sandi Martapraja di Tangerang, Sabtu (11/1/2025), mengatakan jika pagar laut yang kini ramai diperbincangkan di publik adalah tanggul yang dibangun oleh masyarakat setempat secara swadaya.

“Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi,” ujarnya.

Menurutnya, tanggul laut dengan struktur fisik yang memiliki fungsi cukup penting dalam menahan terjadinya potensi bencana seperti abrasi. Pertama, mengurangi dampak gelombang besar, melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi yang dapat mengikis pantai dan merusak infrastruktur.

“Kedua, mencegah abrasi, mencegah pengikisan tanah di wilayah pantai yang dapat merugikan ekosistem dan permukiman. Kemudian mitigasi ancaman tsunami, meski tidak bisa sepenuhnya menahan tsunami,” kata Sandi.