ORINEWS.id – Turki dan Israel bergerak cepat menuju konfrontasi militer langsung karena kedua negara berada di pihak yang berseberangan dalam konflik Suriah yang sedang berlangsung. Selain itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mengobarkan sentimen anti-Israel di negaranya sejak serangan Israel ke Gaza pada 2023.
Setelah pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang didukung Turki merebut ibu kota Suriah, Damaskus, kehadiran militer Turki di wilayah tersebut meningkat pesat. Pasukan Turki dan kelompok sekutunya telah menargetkan suku Kurdi di Suriah. Suku Kurdi ini berada di bawah perlindungan 2.000 tentara AS. Sekarang, suku Kurdi ini telah meminta bantuan dari Israel.
Menurut laporan terbaru Komite Nagel, yang dibentuk oleh pemerintah Israel, tentang anggaran pertahanan dan strategi keamanan, negara Yahudi itu harus mempersiapkan diri untuk konfrontasi langsung dengan Turki. Komite Nagel dibentuk untuk menyelidiki perubahan lanskap geopolitik di Timur Tengah.
Laporan tersebut mengatakan ancaman dari Suriah dapat berkembang menjadi sesuatu yang bahkan lebih berbahaya daripada ancaman Iran. Laporan tersebut memperingatkan bahwa pasukan yang didukung Turki mungkin bertindak sebagai proksi, yang memicu ketidakstabilan regional.
Setelah serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober 2023, banyak front telah terbuka di kawasan tersebut. Turki dan Israel kemungkinan akan menjadi front terbaru di kawasan tersebut. Turki telah berselisih dengan Israel di masa lalu, selama konfrontasi sebelumnya dengan Hamas. Namun kali ini, situasinya berbeda.
Mengutip Eurasian Times, Rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad tumbang pada 8 Desember 2024. Peristiwa ini terjadi setelah serangan besar-besaran oleh pasukan oposisi yang dipelopori HTS dan didukung Tentara Nasional Suriah yang didukung Turki. Pasukan oposisi berhasil merebut Damaskus, yang menyebabkan Assad melarikan diri ke Rusia.
Jatuhnya rezim Assad menandai berakhirnya perang saudara selama lebih dari 13 tahun dan lebih dari 50 tahun pemerintahan keluarga Assad di Suriah. Runtuhnya rezim tersebut secara cepat merupakan kejutan besar bagi banyak orang, termasuk para pendukung Assad dan masyarakat internasional.
Kejatuhan itu menimbulkan tanda tanya pada otonomi kelompok Kurdi yang didukung AS di Suriah. Israel telah mempertahankan hubungan rahasia dengan Kurdi, melihat mereka sebagai sekutu yang mungkin untuk melawan musuh bersama.
Turki berupaya mendapatkan pengaruh di Suriah, yang berbatasan dengan Israel. Aspirasi ini dapat mengganggu perdamaian di perbatasan dengan Israel, yang berujung pada konfrontasi bersenjata langsung dengan Turki.
“Ada kemungkinan terjadinya konfrontasi militer antara Israel dan Turki di masa mendatang,” kata Prof. Efrat Aviv, pakar Turki dari Departemen Sejarah Umum Bar-Ilan dan Pusat Studi Strategis Begin-Sadat, kepada The Media Line. “Ini belum pernah terjadi sebelumnya, seperti halnya semua peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut baru-baru ini.”
Turki mendukung kelompok pemberontak yang saat ini memimpin Suriah, Hayat Tahrir al-Sham. Pada saat yang sama, Turki telah lama melihat pasukan Kurdi Suriah sebagai ancaman.
Sejak Assad digulingkan, Israel telah melancarkan ratusan serangan udara terhadap sasaran-sasaran di Suriah dan telah menguasai zona penyangga demiliterisasi yang ditetapkan dalam gencatan senjata tahun 1974.
Israel dan Turki dalam Jalur Perang
Hubungan kedua negara mengalami kemunduran. Setelah perang Israel melawan Hamas di Gaza, Erdogan memutuskan semua hubungan dengan Israel. Kedua negara memberlakukan pembatasan perdagangan terhadap satu sama lain pada April 2024.
Turki juga bergabung dengan petisi Afrika Selatan yang menuduh Israel melakukan genosida di Gaza di Mahkamah Internasional (ICJ) tahun lalu. Selama perang, Ankara telah memasok bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina di Gaza.
Kekosongan kekuasaan di Suriah telah membuat kedua negara mengerahkan pasukan darat, meskipun sejauh ini di wilayah yang berbeda. Namun, Turki bermaksud menghancurkan aspirasi kemerdekaan Kurdi, sebuah tujuan yang mungkin tidak dapat diterima oleh Israel. Komunitas Kurdi penting bagi Israel untuk mengimbangi pengaruh Iran di wilayah tersebut.
Rekomendasi Komite Nagel
Komite Nagel menyerahkan rekomendasinya kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel Katz, dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich pada 6 Januari, menguraikan strategi komprehensif untuk mengatasi ancaman yang muncul.
Komite mengusulkan peningkatan anggaran pertahanan hingga NIS 15 miliar (US$4,14 miliar) setiap tahun selama lima tahun ke depan untuk memastikan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) diperlengkapi menangani tantangan yang ditimbulkan Turki, di samping ancaman regional lainnya.
Untuk mempersiapkan potensi konfrontasi dengan Turki, komite merekomendasikan perolehan jet tempur F-15 tambahan, pesawat pengisian bahan bakar, pesawat tak berawak, dan satelit untuk memperkuat kemampuan serangan jarak jauh Israel.
Laporan tersebut menyerukan peningkatan kemampuan pertahanan udara berlapis-lapis, termasuk Iron Dome, David’s Sling, sistem Arrow, dan sistem pertahanan berbasis laser Iron Beam yang baru beroperasi.
Ia merekomendasikan pembangunan tembok keamanan berbenteng di sepanjang Lembah Yordan, yang akan menandai perubahan signifikan dalam strategi pertahanan Israel meskipun ada potensi konsekuensi diplomatik dari Yordania.