Kata Orang Dinas buat Patok
ORINEWS.id – Misteri keberadaan pagar laut sepanjang 30 kilometer di perairan Tangerang mulai terkuak. Bambu-bambu yang ditancapkan di lautan itu disebut untuk keperluan pemetaan lahan.
Republika mengunjungi salah satu lokasi pagar-pagar laut itu yang terletak di perairan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Bambu-bambu mulai ditancapkan di laut sekitar 500 meter hingga satu kilometer dari muara kali.
Di laut, bentuk “pagar bambu” itu beragam. Ada yang ditancapkan satu satu. Ada juga yang dibuat semacam koridor dengan jaring di sampingnya dan anyaman bambu yang bisa dilangkahi.
Bentuknya tak sepenuhnya memanjang menyusuri kontur tepian pantai. Ia juga tak sepenuhnya mengular sepanjang 30 kilometer. Pagar-pagar itu merupakan segmen-segmen terpisah yang merentang dari ujung ke ujung perairan utara Kabupaten Tangerang.
Bagaimanapun, kebanyakan pagar-pagar ituemadat di sekitar kampung nelayan. Ini yang membuat maraknya keluhan karena menghalangi pergerakan nelayan di laut serta menyempitkan area penjaringan.
Pagar yang bisa dinaiki biasanya mengular melingkupi bidang luas tertentu. Didalamnya, kebanyakan pagar bambu membentuk semacam persegi panjang dengan bukaan di salah satu sisinya. Dilihat dengan drone yang dioperasikan fotografer Republika, ia mirip dengan kapling-kapling pertanahan.
Hal itu diiyakan nelayan setempat yang ditemui Republika di sana. Nurdin, salah satu ketua kelompok usaha bersama nelayan di Kronjo, mengatakan mereka sudah memertanyakan tujuan pagar itu sedari mulai berdiri sekitar tiga bulan lalu. Saat itu tak ada penjelasan serta permisi kepada para nelayan terkait pembangunan pagar.
Setelah didesak, sejumlah pihak akhirnya membeberkan maksud pembangunan pagar tersebut. “Iya, kata orang dinas itu buat patok. Jadi bentuknya macam peta nanti kalau difoto pakai drone,” ujar Nurdin, salah satu ketua kelompok usaha bersama nelayan di Kronjo, Jumat (10/1/2025).
Ia juga mengetahui bahwa “pagar-pagar” itu tak dimaksudkan berdiri secara permanen. Selepas pemetaan, pagar-pagar itu akan dibiarkan hancur. “Itu sudah ada yang rusak dibiarin saja. Katanya memang buat difoto saja, nanti habis itu nelayan terserah lagi mau pakai lautnya,” ujar dia.
Sementara Dulrasid, nelayan lainnya mengatakan, pemasangan patok-patok di lautan itu hampir bersamaan dengan pembebasan lahan yang marak setahun belakangan. Saat sawah-sawah yang dibeli dari warga mulai diurug lima bulan lalu, saat itu juga patok di laut mulai ditancapkan.
Patok bambu ditanam di Tanjung Kait, Ketapang, PLTU, Penyawakan, Pulau Cangkir, sampai Tenara. Sementara sawah-sawah yang diurug mulai dari Kampung Gaga, Pagedangan Hilir, Muncung di Empang. “Kalau malam kita dengar gruduk-gruduk,” ujarnya menggambarkan pengurugan.
Saat ini, menurutnya pengurugan sedang berhenti. Ini terkait dengan unjuk rasa nun di timur Kabupaten Tangerang, di Tanjung Pasir. Beberapa waktu lalu, di wilayah itu salah satu truk yang membawa pasir untuk mengurug tanah menabrak anak kecil dan memicu kemarahan warga.
Seorang tokoh masyarakat setempat di Kronjo menuturkan bahwa pembebasan lahan warga sudah masif di Kronjo. “Mungkin 90 persen sudah menjual lahannya,” kata dia. Ia menolak disebut namanya karena ingat seorang saudagar setempat yang sempat dijadikan DPO karena menolak menjual lahannya.
Tokoh itu menuturkan, lahan warga dibeli dengan NJOP yang lebih redah saat ini. Dulu tanah di wilayah itu dihargai Rp 150 ribu per meter per segi. Kini justru hanya sekitar Rp 50 ribu. “Nyesel juga saya nggak jual dulu waktu harganya masih mahal,” ujar dia.
Perusahaan yang membeli lahan warga menurutnya adalah PT Kukuh Mandiri Lestari, perusahaan yang dinaungi Agung Sedayu Group. Perusahaan itu juga yang mengembangkan PIK 2.
Menurut sang tokoh masyarakat, pemasangan “pagar laut” punya kaitan erat dengan pembebasan lahan tersebut. “Saya pikir oh berarti ini di lokasi yang ada pemagaran ini berarti laut nanti digusur jadi daratan jadi rata dengan tanah bukan lautan perasaan saya,” kata dia.
Pandangan serupa diamini banyak nelayan dan warga yang ditemui Republika dari Tanjung Pasir hingga Kronjo. Mereka menilai pagar bambu di laut itu sebagai penanda wilayah reklamasi di masa datang.
Republika telah berupaya menghubungi pihak pengembang PIK 2 dan Agung Sedayu Group untuk dimintai tanggapan soal kesaksian warga dan nelayan tersebut. Kendati demikian, belum ada jawaban yang dilayangkan hingga tulisan ini diturunkan. Dalam keterangan sebelumnya, perusahaan itu menyangkal berada di balik pembangunan pagar laut.