ORINEWS.id – Pengamat Politik Archy Strategy Radis Hadi menilai nasib dari kelanjutan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau Presidential Threshold (PT), kini berada di DPR.
Bukan mustahil, akan ada batu sandungan. Sebab, putusan MK tersebut bisa saja dianggap merugikan bagi partai-partai besar di parlemen, pasalnya semua berhak mengusung jagoannya masing-masing, membuat partai besar tak lagi jadi daya tarik dalam membangun koalisi.
“Yang perlu dilihat respons partai Politik dan partai politik yang memiliki suara besar,” kata Radis saat dihubungi, Jakarta, Minggu (5/1/2025).
Asal tahu saja, partai besar di parlemen saat ini adalah PDIP sebagai juara Pileg bersama runner-up Partai Golkar. Di periode 2024-2029, total ada 580 kursi di DPR. PDIP mendapat kursi terbanyak, yakni 110 kursi atau 18,97 persen dari total kursi. Angka tersebut diikuti oleh Partai Golkar dengan 102 kursi atau 17,59 persen dari total jumlah kursi.
“Jika kondisi perubahan ini dilihat memiliki dampak positif tentu akan diperjuangkan di parlemen. Parpol sisanya bagaimana meyakinkan hal ini memiliki dampak baik, tak mengusik dalam proses menyalurkan aspirasi partai politik itu sendiri,” ujarnya.
Dia berharap, para partai politik bisa satu suara dalam menyehatkan demokrasi di Indonesia dengan segera menindaklanjuti putusan ini. “Jika ini terbuka maka capres akan banyak, namun kontrol masyarakat juga akan semakin besar,” ucap dia.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menghapus ketentuan ini, usai mengabulkan gugatan bernomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025). “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Suhartoyo saat membacakan putusan.
Dia menjelaskan, dikabulkan permohonan tersebut karena norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945.
Adapun Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.”
Pada poin putusan berikutnya Suhartoyo menyatakan, “pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah secara nasional.”
Dalam proses putusan, dua dari sembilan hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic dinyatakan memiliki pendapat berbeda. Menurut Suhartoyo, keduanya menyatakan pemohon tak memiliki legal standing. Putusan ini jadi kado tahun baru bagi partai politik yang tak memiliki perolehan suara sebanyak partai besar pada pemilu sebelumnya, tetapi ingin mencalonkan jagoannya.[source:inilah.com]