ORINEWS.id – Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengatakan, partainya belum bisa menghitung keuntungan maupun kerugian dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Pihaknya masih perlu waktu untuk membaca dan mempelajari putusan tersebut.
Setelah Partai Golkar mempelajari putusan MK, selanjutnya barulah menentukan langkah. Khususnya untuk menghadapi Pilpres 2029.
“Kami baca dulu putusan Mahkamah Konstitusi. Setelah kami baca dan pelajari, baru kemudian kita akan merumuskan langkah apa yang akan dilakukan,” kata Bahlil di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (3/1/2025).
Meski begitu, dia menekankan bahwa putusan MK jangan sampai melemahkan sistem demokrasi. Hal itu akan menjadi salah satu kajian partainya.
“Tapi kita harus jaga betul-betul, melihat bahwa sistem demokrasi kita ini juga jangan dibuat memperlemah posisi presidential. Nah ini yang kita lagi kaji sekarang,” ucap Bahlil.
Walau demikian, Menteri ESDM itu menyampaikan, Partai Golkar menghargai apapun putusan MK, termasuk soal perubahan syarat pencalonan presiden.
“Apapun yang diputuskan oleh MK ya kita hargai. Karena kan final and binding kan,” kata Bahlil.
Diketahui, MK memutuskan mengambulkan seluruh gugatan uji materi perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Dian Fitri Sabrina, Muhammad, Muchtadin Alatas dan Muhammad Saad.
Para pemohon menggugat Pasal 222 UU Pemilu terkait syarat ambang batas pencalonan presiden.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, Kamis (2/1).
Dalam pertimbangannya, MK menilai, munculnya polarisasi di tengah masyarakat akibat kecenderungan hanya ingin memunculkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pilpres.
“Setelah mempelajari secara seksama arah pergerakan Politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon,” ujar hakim MK Saldi Isra.
“Padahal, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung menunjukan, dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan Kebhinekaan Indonesia,” lanjutnya.
MK menilai, jika hal ini terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan Pilpres selanjutnya hanya menampilkan pasangan calon tunggal.
Kecenderungan itu, menurut MK, sudah terlihat dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Banyak pasangan calon kepala daerah tunggal melawan kotak kosong.
“Artinya, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ucap Saldi.[]