ORINEWS.id – Polemik baru muncul di panggung Politik nasional setelah terungkap bahwa semua anggota Komisi XI DPR RI menerima dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI).
Fakta ini mencuat setelah salah satu anggota komisi tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pengamat Politik, Rocky Gerung menyebut kasus ini sebagai bukti adanya “sistem korupsi yang terstruktur” di lembaga legislatif.
Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun dari Fraksi Golkar, mengonfirmasi praktik penerimaan dana CSR ini.
Ia berdalih bahwa dana tersebut digunakan untuk mengawasi penyalurannya langsung ke dapil (daerah pemilihan) masing-masing anggota DPR.
Namun, menurut Rocky Gerung, dalih tersebut tidak cukup untuk menutupi masalah etis dan legal yang lebih besar.
“Bank Indonesia sebagai bank sentral tidak seharusnya memiliki program CSR, apalagi menyalurkannya melalui anggota DPR. Ini adalah bentuk penyalahgunaan fungsi lembaga negara yang seharusnya menjaga stabilitas moneter, bukan mendanai program sosial secara politis,” ujar Rocky dalam sebuah diskusi.
Rocky menyoroti adanya potensi konflik kepentingan antara BI dan DPR. Menurutnya, hubungan ini memungkinkan terjadinya tekanan politik dari DPR terhadap BI.
“DPR mungkin memberikan sinyal politik yang membuat BI merasa harus tunduk, sementara BI sendiri bisa saja memanfaatkan hubungan ini untuk mengamankan posisinya. Ini adalah lingkaran korupsi yang melibatkan dua institusi publik,” tegas Rocky.
KPK, yang kini menyelidiki kasus ini, diharapkan tidak hanya fokus pada bukti penerimaan dana, tetapi juga menggali motif dan pola hubungan antara BI dan DPR.
“Kita harus melihat ini sebagai relasi kekuasaan yang saling memanfaatkan. Jika dibiarkan, hal ini bisa melemahkan independensi BI sebagai bank sentral dan mencederai integritas sistem keuangan negara,” tambah Rocky.
Kasus ini memiliki implikasi serius terhadap stabilitas ekonomi dan citra Indonesia di mata dunia internasional. Rocky mencatat bahwa ruang kantor Gubernur BI yang digeledah KPK merupakan sinyal buruk bagi para investor asing.
“Bayangkan jika ini terjadi di negara seperti Amerika Serikat, di mana kantor Federal Reserve digerebek oleh aparat antikorupsi. Ini akan menjadi skandal besar yang mengguncang pasar keuangan global,” jelasnya.
Selain itu, Rocky juga mengaitkan kasus ini dengan pelemahan nilai tukar rupiah, anjloknya indeks harga saham gabungan (IHSG), serta menurunnya kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Rocky mengingatkan bahwa KPK menghadapi tantangan besar dalam menangani kasus ini. Jika penyidikan berhenti hanya pada satu tersangka, publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga antirasuah tersebut.
“Ini adalah ujian integritas KPK. Jika hanya satu orang yang dikorbankan, sementara yang lain bebas, maka masyarakat akan bertanya-tanya, apakah ada intervensi politik di balik kasus ini?” ungkap Rocky.
Rocky juga menegaskan pentingnya transparansi dalam proses hukum terhadap anggota DPR lainnya yang diduga terlibat.
“Jika memang ada kesepakatan jahat antara BI dan DPR, semua pihak yang terlibat harus diusut tuntas. Jangan ada ruang untuk kompromi dalam penegakan hukum,” tambahnya.
Kasus dana CSR BI yang melibatkan Komisi XI DPR bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga mencerminkan lemahnya etika dan tata kelola institusi publik di Indonesia.
Menurut Rocky Gerung, keterlibatan bank sentral dalam praktik semacam ini merupakan bentuk “maladministrasi” yang serius.
“Publik berhak tahu sejauh mana korupsi ini merusak sistem keuangan dan politik kita. KPK harus berani menggali lebih dalam dan memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan,” pungkasnya.