ORINEWS.id – Kasus Harun Masiku, politisi PDIP yang menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak awal 2020, terus menjadi perbincangan. Harun diduga terlibat dalam kasus suap terkait penetapan anggota DPR periode 2019-2024.
Pakar Kepemiluan, Titi Anggraini menyebut kasus ini mencerminkan pelanggaran prinsip sistem pemilu proporsional terbuka yang dilakukan elite.
“Kasus Harun Masiku dimulai sebelum PAW anggota DPR, yaitu dengan upaya mengganti caleg terpilih sebelum pelantikan,” kata Titi lewat akun X miliknya, Jumat 27 Desember 2024.
Dalam kasus ini, pihak tertentu mengusulkan agar caleg dengan perolehan suara nomor enam dari delapan caleg yang ada, di mana satu caleg telah meninggal dunia, dilantik menggantikan caleg terpilih.
“Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak permintaan tersebut,” tegas Titi.
Menurut Titi, keterlibatan KPU dalam proses PAW adalah konsekuensi dari sistem pemilu proporsional terbuka dengan mekanisme suara terbanyak yang diterapkan di Indonesia.
Sistem ini memastikan bahwa pengisi posisi PAW adalah caleg dengan suara terbanyak berikutnya, bukan berdasarkan kehendak elite Politik.
“Bukan asal tunjuk sesuai selera elite,” tegas Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.
Kasus ini bermula saat Harun mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari Dapil I Sumsel pada Pemilu 2019. Ia kalah telak dan menempati posisi keenam. Namun, setelah Nazarudin Kiemas, caleg yang terpilih, meninggal dunia, PDIP mengusulkan Harun sebagai pengganti.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak usulan tersebut dan tetap menunjuk Riezky Aprilia, yang memperoleh suara terbanyak kedua dengan 44.402 suara.
Tak lama kemudian, KPK menangkap Wahyu Setiawan, anggota KPU, beserta asistennya Rahmat Tonidaya, atas dugaan suap untuk meloloskan Harun sebagai anggota DPR.
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang sebelumnya menyatakan bahwa Harun merupakan sosok bersih, kini juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap tersebut.