ORINEWS.id – Kasus Harun Masiku, politisi PDIP yang menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak awal 2020, terus menjadi sorotan publik. Harun diduga terlibat dalam kasus suap terkait penetapan anggota DPR periode 2019-2024.
Pakar Kepemiluan Titi Anggraini menyebut kasus ini mencerminkan pelanggaran prinsip sistem pemilu proporsional terbuka yang dilakukan elite.
“Kasus Harun Masiku terjadi karena pengingkaran elite partai terhadap pemberlakuan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak,” kata Titi seperti dikutip redaksi lewat akun X miliknya, Kamis 26 Desember 2024.
“Serta pemaksaan agar caleg favorit elite bisa dapat kursi ketimbang memberikan kursi kepada caleg suara terbanyak yang dikehendaki rakyat,” sambung Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu.
Kasus ini bermula saat Harun mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari Dapil I Sumsel pada Pemilu 2019. Ia kalah telak dan menempati posisi keenam. Namun, setelah Nazarudin Kiemas, caleg yang terpilih, meninggal dunia, PDIP mengusulkan Harun sebagai pengganti.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak usulan tersebut dan tetap menunjuk Riezky Aprilia, yang memperoleh suara terbanyak kedua dengan 44.402 suara.
Tak lama kemudian, KPK menangkap Wahyu Setiawan, anggota KPU, beserta asistennya Rahmat Tonidaya, atas dugaan suap untuk meloloskan Harun sebagai anggota DPR.
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang sebelumnya menyatakan bahwa Harun merupakan sosok bersih, kini juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap tersebut