*Oleh: Awalin Ridha, S.Pd
Di tengah hiruk-pikuk perkotaan yang ada di Aceh, warung kopi tidak lagi hanya menjadi tempat untuk menyeruput secangkir kopi panas, tetapi juga menjadi panggung bagi perubahan gaya hidup. Kini, perempuan muda Aceh, yang dulu mungkin hanya terlihat menemani kerabat di tempat-tempat seperti ini, mulai tampil berbeda.
Dengan percaya diri, mereka duduk bersama, bercanda, dan di antara obrolan itu, mereka mengeluarkan vape – sebuah rokok elektrik yang mengeluarkan kepulan asap beraroma. Bagi mereka, ini bukan sekadar tren, tetapi lambang kebebasan baru, sebuah cara untuk mengekspresikan diri yang merangkul perubahan zaman.
Namun, di balik kepulan asap itu, ada pergulatan yang lebih dalam. Di Aceh, perempuan diharapkan untuk menjaga nilai-nilai agama dan adat yang sudah menjadi bagian dari identitas mereka sejak lama. Penggunaan vape bagi sebagian pihak dianggap melawan kodrat dan melanggar norma-norma yang seharusnya dijaga.
Kekhawatiran muncul dari masyarakat, terutama para orangtua, yang merasa bahwa gaya hidup baru ini akan mengikis nilai-nilai religius yang selama ini menopang kehidupan mereka. Di sisi lain, perempuan yang menggunakan vape merasa bahwa ini adalah hak mereka, sesuatu yang selama ini dirasakan kaum laki-laki sebagai hal yang wajar.
Dengan aturan yang minim dan kurangnya bimbingan dari pihak berwenang, kebiasaan vaping semakin terlihat biasa. Tanpa regulasi atau larangan jelas, banyak perempuan merasa aman untuk menjadikan vape bagian dari keseharian mereka.
Ketidakjelasan aturan akan membuat tren ini terus berlanjut, maka tidak hanya perempuan dewasa, tetapi juga remaja sekolah akan berpotensi terpengaruh untuk menggunakan vape. Jika persoalan Ini merambah pada remaja wanita maka akan semakin memperburuk gesekan antara modernitas dan tradisi, menciptakan jurang yang semakin lebar dalam norma-norma sosial.
Fenomena ini juga menyingkapkan hasrat perempuan Aceh untuk lebih mandiri dalam menentukan pilihan hidup. Di dunia yang terus berubah, mereka tidak ingin terjebak dalam batasan tradisional yang membatasi kebebasan berekspresi.
Jika laki-laki memiliki kebebasan untuk menikmati hal-hal yang lebih modern, mereka pun merasa berhak melakukan hal yang sama. Bagi mereka, ini bukan sekadar soal vape, tetapi soal kesetaraan dan hak untuk hidup dengan pilihan pribadi tanpa stigma.
Menghadapi fenomena ini, penting untuk melakukan pendekatan yang bijak dan konstruktif. Pelarangan yang tegas mungkin dapat memberikan dampak jangka pendek, namun untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan, diperlukan upaya yang lebih menyeluruh.
Pendekatan berbasis dialog dan edukasi yang mendalam akan lebih efektif, sehingga perempuan Aceh dapat memahami dampak negatif dari pilihan mereka tanpa harus mengorbankan kebebasan yang mereka inginkan.
Dengan bimbingan dari ulama, tokoh adat, peran orangtua dan komunitas perempuan yang peduli, diharapkan akan muncul sebuah kesepakatan yang tidak hanya melindungi identitas mereka, tetapi juga memberi ruang bagi perkembangan diri yang tetap selaras dengan nilai-nilai budaya Aceh.
Langkah-langkah ini diharapkan bisa membantu perempuan Aceh menemukan keseimbangan, di mana mereka bisa merayakan modernitas tanpa kehilangan jati diri yang kaya akan tradisi.
Sambil tetap mempertahankan nilai-nilai yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh, mereka dapat tumbuh dan bergerak maju, berani menatap masa depan tanpa harus melepaskan akar budaya yang telah mereka rawat selama ini.