Politik dan Kritik

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

*Oleh: Sulaiman Datu

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Coruption Invesigasi Comitte (DPP-CIC) memberikan sedikit opini dalam Dinamika Pemikiran tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 bahwa keberadaan kita sama dengan orang lain (inter-homines esse) seyogianya menjadi pusat kegiatan berpikir politik (filsafat politik). Singkat cerita, politik sejatinya berada di ruang bersama yang lain, alias ruang publik (forum publicum).

Berbeda dengan urusan rumah tangga (oikos-nomos) yang pada instansi pertamanya adalah urusan di ruang privat (forum privatum). Urusan Oikos Nomos (atau lebih dikenal sebagai Ekonomi) bisa menjadi urusan publik tatkala masuk ranah kebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingan kesejahteraan bersama (bonum commune), artinya ya masuk ke ranah politik juga.

Oleh karena itu, ketika kita bicara soal politik maupun derivatifnya seperti pengamat politik misalnya, maka itu adalah pembicaraan yang seyogianya merupakan wacana publik juga. Suprastruktur politik dipengaruhi oleh infrastrukturnya, termasuk diantaranya adalah partai politik beserta segala tingkah lakunya (political behavior).

Maka dalam percakapan di ruang publik yang sehat, cerdas dan oleh lantaran itu bisa mencerahkan, actus saling menganalisis bahkan mengritik perilaku para pemain politik manapun oleh setiap warga negara (citizen) itu bisa dan diperbolehkan. Artinya siapa pun bebas untuk menyampaikan pendapatnya di ruang publik, terkecuali ASN, TNI, Polisi dan lainnya yang dilarang oleh undang-undang serta peraturan.

Maka logikanya, sebagai bagian dari infrastruktur politik, pengamat maupun pengurus partai dan kader-kadernya bisa, boleh dan berhak untuk menyampaikan analisis dan pendapatnya tentang “situasi perpolitikan” yang sedang terjadi saat ini. Termasuk political-behavior yang dilakukan parpol di seberang jalan. Kenapa begitu? Ya sekali lagi urusan politik adalah urusan publik. Tinggalah diperlukan Profesional dan kedewasaan serta kematangan dalam menyikapinya.

Maka tidak bisa dalam urusan politik yang mempengaruhi umum, seseorang menanggapi sebuah pendapat dengan berkata semena-mena, “Hei, tak usah mencampuri urusan kami, urus saja urusanmu”. Padahal kelakuannya itu bakal berpengaruh pada konstelasi perpolitikan pada umumnya bisa berdampak pada publik.

Begitulah secara sederhana kita menjelaskan tentang politik yang eksistensi atau keberadaannya – sejatinya – terletak di ruang publik.

Maka – sekali lagi – publik pun jadi bebas mewacanakannya, inilah sekedar pemikiran yang sampaikan oleh Sulaiman Datu Ketua harian Dewan Pimpinan Pusat Coruption Invesigasi Comitte (DPP-CIC) yang juga mantan Anggota KPU dan KIP Kota Langsa Priode 2003-2008.

Semuanya pasangan calon Bupati dan Calon Wakil Bupati merupakan orang-orang yang terbaik, Tentu sebaik-sebaik manusia adalah yang baik Akhlaknya, maka pilihlah pemimpin yang baik Akhlaknya, dan tentu siapa yang akan menjadi Bupati dan wakil Bupati Gayo lues kedepan tentu Allah SWT sudah gariskan di lauhul mahfudz sekarang tugas kita menjemput takdir tersebut dengan cara yg Allah Ridhoi.

Lalu soal kritik. Apa itu kritik?

Etimologis berasal dari kata Yunani: Kritikos, yang bermakna “dapat didiskusikan”. Diambil dari kata Krenein, yang artinya: memisahkan, mengamati, menimbang dan membandingkan. Begitu kira-kira.

Jadi, kita bisa menerima kritik tatkala dalam kritikannya itu ada unsur memisahkan (topik yang mana, misalnya), atau kalimat, paragraf mana yang sedang diamati.

Lalu pertimbangannya apa, kalau perlu dengan perbandingan. Sehingga kita pun jadi mengerti tentang subyek apa yang dikritik. Kita jadi paham bagaimana cara pandang sang pengkritik itu terhadap karya atau tulisan kita. Sehingga dengan demikian kita lalu bisa meresponnya dengan baik.

Tapi kalau cuma bilang bahwa tulisan kita itu, “Hoaks!”, atau “Tak sepantasnya mencampuri urusan orang lain!” atau “Ini tulisan sampah!” dan kata-kata sejenisnya, maka itu bukanlah kritik, tapi lebih tepat disebut cacian.

Dan kita semua bersama-sama paham, bahwa kalau orang tak mampu berargumentasi dalam kritiknya, malah meresponnya dengan cacian, ada istilahnya yaitu: Idiotes (bahasa Yunani). Kalau dalam bahasa Latin disebut idiota, yang artinya: orang tidak berpendidikan.

Terhadap itu sebaiknya kita diam. Pepatah tua bilang, “Never argue with an idiot. People watching won’t be able to tell the difference!”

Politisi memang harus siap dikritisi dan harus hati-hati para kritikus juga harus siap menjadi inbas politik, tutup

Penulis adalah Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Coruption Invesigasi Comitte (DPP-CIC)