TERBARU

Opini

Paradoks Pendidikan: Guru Terjerat Hukum, Disiplin Berujung Bumerang

image_pdfimage_print

*Oleh: Awalin Ridha, S.Pd

Kasus demi kasus yang melibatkan guru dan siswa di Indonesia semakin memperlihatkan wajah pendidikan yang paradoks. Guru, yang seharusnya menjadi pilar utama pendidikan dan pengajaran nilai-nilai disiplin serta akhlak, kini berada dalam posisi yang semakin rentan. Upaya menegakkan kedisiplinan atau memberikan nasihat berisiko menjadi bumerang, membawa mereka pada masalah hukum dan bahkan ancaman kehilangan kebebasan. Dalam lingkungan yang seharusnya mendukung proses belajar mengajar, guru justru terpaksa menghadapi tantangan yang tidak seharusnya mereka alami.

Salah satu contoh yang paling mencolok adalah kasus Supriyani, seorang guru yang baru-baru ini viral di media karena dituduh melakukan kekerasan terhadap siswa. Berupaya mendisiplinkan siswanya, Supriyani menghadapi tuntutan hukum dari pihak keluarga siswa. Dalam berbagai laporan, tampak bahwa kondisi di lapangan tidak sepenuhnya mendukung narasi yang berkembang. Tindakan disiplin yang dilakukan Supriyani, yang mungkin saja didasari oleh keinginan baik untuk mendidik, justru berbalik menjadi masalah hukum. Hal ini mencerminkan dilema yang kini banyak dihadapi tenaga pendidik di Indonesia, khususnya dalam menjalankan tugas mereka untuk mendidik dan membimbing siswa.

Kasus Supriyani ini bukan satu-satunya. Ada pula Mubazir, guru di SMAN 2 Sinjai Selatan, Sulawesi Selatan, yang mengalami nasib serupa ketika ia mencoba menertibkan siswa berambut gondrong. Setelah hampir seminggu, S, siswa tersebut, tidak kunjung memotong rambutnya meski sudah diperingatkan. Dalam usaha untuk mendisiplinkan, Mubazir pun mengambil tindakan tegas dengan memangkas rambut S secara paksa. Namun, tindakan ini berujung pada penahanan Mubazir setelah orang tua S melaporkannya ke pihak berwajib. Kasus ini memperlihatkan betapa tindakan disiplin yang seharusnya dipahami sebagai upaya mendidik, malah berujung pada kriminalisasi seorang pendidik.

BACA JUGA
Lukisan yang Jokowi Banget

Darmawati, seorang guru agama di SMAN 3 Parepare, Sulawesi Selatan, juga tidak luput dari masalah serupa. Ia dinyatakan bersalah karena menepuk pundak siswi berinisial AY dengan mukena saat mengingatkan untuk mengikuti salat berjamaah. Meskipun tindakan Darmawati dilakukan dalam konteks mengajarkan kewajiban salat, dan tidak ada bekas luka pada siswi tersebut, orang tua AY tetap menempuh jalur hukum, sehingga Darmawati harus menghadapi vonis tiga bulan penjara dengan masa percobaan tujuh bulan. Situasi ini semakin menunjukkan bagaimana tindakan guru, yang seharusnya dianggap sebagai bagian dari proses pembelajaran, justru dapat berujung pada masalah hukum yang serius.

Ketiga kasus ini menunjukkan bagaimana langkah-langkah disiplin yang seharusnya diterima dengan pemahaman dan dukungan justru berujung pada kriminalisasi. Para guru ini tidak hanya kehilangan otonomi dalam mendidik, tetapi juga harus menanggung beban sosial yang berat. Ketakutan menghadapi tuntutan hukum membuat banyak guru terpaksa menghindari tindakan korektif yang diperlukan demi menjaga ketertiban dan kedisiplinan di sekolah. Tindakan disiplin yang seharusnya menjadi bagian dari proses pendidikan malah ditakutkan dan dihindari, menciptakan lingkungan di mana guru merasa terancam dan tertekan.

Di sisi lain, fenomena orang tua yang semakin protektif berkontribusi pada situasi ini. Ketimbang bekerja sama dengan guru dalam membimbing siswa, sebagian orang tua malah mengambil langkah konfrontatif yang melemahkan wibawa guru. Dalam banyak kasus, orang tua merasa lebih berhak untuk membela anak mereka, tanpa memahami konteks tindakan disiplin yang diambil oleh guru. Sikap ini menciptakan dampak negatif pada pola perilaku siswa di sekolah, yang kini cenderung kurang menghormati guru dan bahkan menganggap guru sebagai sosok yang bisa diabaikan. Dengan situasi seperti ini, sekolah kehilangan fungsinya sebagai tempat membentuk karakter dan norma. Alih-alih menjadi ruang yang mendidik, sekolah hanya dipandang sebagai syarat formal tanpa nilai yang mendalam.

BACA JUGA
Mendikdasmen akan Masukan Pelajaran Matematika Sejak TK

Krisis kepercayaan antara orang tua, siswa, dan guru ini semakin memperburuk keadaan. Banyak siswa kini berani meremehkan guru, baik secara terang-terangan maupun di belakang. Jika ini dibiarkan, dampaknya akan lebih jauh dari sekadar hilangnya wibawa guru. Kita berisiko melahirkan generasi yang kurang menghargai disiplin, nilai-nilai moral, dan otoritas. Pendidikan tanpa rasa hormat dan sinergi antara guru, siswa, dan orang tua berpotensi menciptakan generasi yang miskin akhlak dan sulit menghormati aturan.

Dari kasus-kasus ini, tampak bahwa kita menghadapi tantangan besar dalam dunia pendidikan. Realitas yang ada tidak bisa dipungkiri, dan jika kondisi ini dibiarkan, generasi yang akan datang bisa hancur. Ketidakpedulian terhadap pendidikan, baik dari siswa maupun orang tua, menciptakan suasana yang tidak kondusif bagi pembelajaran. Tanpa adanya rasa saling menghormati dan kerjasama antara semua pihak, kita hanya akan mengakibatkan kemunduran dalam pendidikan.

Untuk mengatasi masalah ini, sangat penting untuk melakukan sosialisasi mengenai perlindungan bagi guru. Masyarakat, termasuk orang tua dan siswa, perlu diberikan pemahaman mengenai peran guru yang lebih luas. Sosialisasi ini juga harus mencakup pentingnya mendukung tindakan disiplin yang diambil oleh guru dalam konteks pendidikan. Guru harus diberikan dukungan, baik secara moral maupun hukum, agar mereka bisa melaksanakan tugasnya tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum yang tidak adil. Hanya dengan menciptakan lingkungan yang aman bagi guru, kita dapat berharap bahwa pendidikan akan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kaya akan nilai-nilai moral dan akhlak.

Ketiga kasus yang dibahas di atas hanyalah contoh dari berbagai permasalahan yang lebih luas yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Jika kita tidak mau belajar dari kasus-kasus ini dan tidak mengambil tindakan untuk memperbaiki keadaan, maka masa depan pendidikan Indonesia akan semakin suram. Kita harus berkomitmen untuk mendukung guru dan menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan produktif, sehingga guru dapat melaksanakan tugas mereka tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum yang tidak adil.

BACA JUGA
2.371 Pelajar Aceh Selatan Terima Beasiswa PIP Usulan Teuku Riefky Harsya

Penulis: Ketua Departemen Pendidikan WI Aceh

Artikel Terkait

Load More Posts Loading...No more posts.