Dari Kisah Guru Honorer Pemulung, Pemerintah Didesak Evaluasi Sistem Pos Anggaran Pendidikan

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

ORINEWS.id – Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf mendorong pemerintah untuk mengevaluasi sistem pos anggaran pendidikan yang selama ini tersebar di beberapa kementerian/lembaga.

Menurutnya, anggaran pendidikan semestinya satu pintu di Kementerian Pendidikan demi memaksimalkan kualitas layanan pendidikan, termasuk dalam hal kesejahteraan guru.

“Amanat konstitusi dan juga Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengatakan bahwa anggaran pendidikan itu tidak boleh digunakan untuk kementerian atau lembaga kedinasan atau pendidikan kedinasan. Tapi realitanya Rp147 triliun masih dipakai untuk pendidikan kedinasan. Padahal anggaran Kemendikbudnya sendiri hanya Rp90 triliun. Artinya jomplang,” kata Dede dalam keterangannya, Jakarta, Jumat (18/10/2024).

Menurut Dede, jika pos anggaran disatukan dalam satu kementerian yang memang bertugas untuk mengurus tentang pendidikan, maka pengawasannya akan lebih terpusat dan terarah. Sehingga jika ada penemuan seperti yang terjadi di tahun lalu yakni anggaran pendidikan tidak terserap maksimal, hal tersebut dapat cepat diatasi.

“Kalau kita mau fokus pada amanat konstitusi, mestinya kita harus fokus kepada pendidikan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan karena yang mendapatkan amanat itu adalah Kementerian Pendidikan,” ujarnya.

Legislator yang pada periode ebelumnya bertugas di Komisi X ini mengatakan, pembenahan sistem penganggaran dapat mengatasi berbagai persoalan yang masih terjadi di sektor pendidikan. Termasuk dalam hal kesejahteraan guru, yang berperan pada kualitas layanan pendidikan bagi anak didik.

“Kalau anggaran pendidikan bisa diatur satu pintu, harapannya setiap unsur di sektor pendidikan bisa dipantau secara terpusat. Misalnya mengenai proses kebutuhan guru dan bagaimana peningkatan kesejahteraan mereka,” ucapnya.

Ia pun menyinggung kisah Alvi Noviardi, seorang guru honorer asal Sukabumi yang memulung sepulang mengajar. Memulung menjadi pekerjaan sampingan Alvi selama 36 tahun untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

Dede melihat kisah Alvi merupakan cerminan dan tantangan nyata yang dialami oleh ribuan guru honorer di Indonesia. Ia mengatakan pemerintah memiliki  tanggung jawab besar untuk memastikan kesejahteraan para guru dapat terwujud, termasuk guru honorer.

“Kisah guru Alvi ini menjadi potret buruk penghargaan negara bagi para tenaga pendidik. Pemerintah perlu segera meninjau kembali struktur upah bagi guru honorer, serta menetapkan standar minimum yang jelas agar mereka mendapatkan gaji yang sesuai dengan peran penting yang mereka emban,” tutur Dede menambahkan.

Dede berharap, pemerintah ke depan bisa memperbaiki persoalan kesejahteraan guru. Terutama bagi para guru honorer yang walaupun statusnya merupakan pegawai tenaga harian lepas (THL), tapi pekerjaannya pun sama beratnya dengan guru ASN.

“Guru honorer juga berhak mendapat penghasilan yang layak, jaminan sosial, perlindungan kerja, serta akses yang adil terhadap pelatihan dan pengembangan profesional,” ujarnya.[]