Ahli Hukum Diminta Tak Pecah Belah “Orang Aceh” di Pilkada
ORINEWS.id – Pernyataan kontroversial terkait kriteria calon dalam Pilkada Aceh 2024 yang dilontarkan oleh ahli hukum Zainal Abidin dan mantan komisioner KIP Aceh, Munawar, telah menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Keduanya menyatakan bahwa calon yang maju di Pilkada Aceh wajib lahir di Aceh atau memiliki keturunan Aceh, merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006 dan Qanun No. 12 Tahun 2016 yang telah berubah menjadi Qanun No. 7 Tahun 2024.
Pernyataan ini menimbulkan silang pendapat terutama di wilayah barat selatan Aceh dan tengah tenggara pedalaman Aceh. Masyarakat mempertanyakan siapa yang dimaksud dengan “Orang Aceh.” Apakah definisi ini hanya mencakup masyarakat Aceh pesisir yang berbicara bahasa Aceh, atau juga mencakup sub-etnis lain seperti Kluet, Singkil, Alas, Gayo, Pakpak, Simeulue, Pidie, Pase, Taming, Aneuk Jamee, dan Jeumpa?
Hal ini disampaikan seorang pengamat kebijakan publik, Dr. Nasrul Zaman., ST., M.Kes, dalam keterangannya kepada media, Selasa (17/9/2024).
Ketidakjelasan definisi ini dalam peraturan dan qanun yang ada dikhawatirkan dapat digunakan untuk menghambat hak politik kelompok-kelompok etnis yang juga merupakan bagian dari masyarakat Aceh.
“Nah, dalam peraturan dan perundangan/qanun yang ada hal itu tidak dijelaskan dengan terperinci sehingga tidak boleh didefinisikan ‘Orang Aceh’ itu adalah etnis yang bisa berbahasa Aceh saja.,” tegas Dr. Nasrul.
Ia juga menyebutkan, pernyataan yang bersifat tendensius dari para ahli hukum ini dapat memecah belah masyarakat Aceh dan mengganggu perdamaian yang selama ini dinikmati. Contoh kasus yang disebutkan adalah Wali Kota Subulussalam yang beretnis Pakpak/Singkil dan akan maju kembali untuk periode kedua.
“Apakah bakal calon tersebut harus digugurkan karena tidak berbahasa Aceh?” tanyanya.
Karena itu, Nasrul berharap agar tidak ada pihak yang “panjat sosial” (pansos) dalam konteks Pilkada serentak kali ini, terutama dengan mengeluarkan pernyataan yang dapat memicu konflik. Ia menekankan, perbedaan penafsiran dan maksud tujuan sebaiknya diserahkan kepada KIP Aceh dan kabupaten/kota yang telah menyelenggarakan Pilkada dengan menggunakan UU PA No. 11 Tahun 2006.
“Rakyat Aceh berharap semua yang telah lahir, berdomisili, dan berkehidupan di Aceh serta menjadi bagian dari sub-etnis Aceh dapat ikut berkompetisi untuk menjadi pemimpin rakyat melalui mekanisme Pilkada. Dengan demikian, mereka bisa berbuat lebih banyak lagi sebagai pemimpin rakyat,” tutup Nasrul.[]