*Oleh: Awalin Ridha*
Penunjukan Dek Fad sebagai calon Wakil Gubernur mendampingi Muzakir Manaf (Mualem) pada Pilkada 2024 di Aceh telah menimbulkan berbagai spekulasi. Langkah ini, meskipun terlihat sebagai strategi politik yang matang, menyisakan pertanyaan mendalam terkait motivasi yang melandasinya. Apakah ini murni kompromi politik ataukah sebuah upaya untuk menjaga kestabilan di tengah ketidakpastian politik Aceh?
Sebagai Ketua Gerindra Aceh, Dek Fad membawa pengaruh partai nasional yang signifikan. Dalam konteks politik Aceh yang sarat dengan dinamika lokal, kehadiran figur dari partai nasional seperti Gerindra dapat menjadi elemen penting dalam menjaga stabilitas politik.
Namun, ada juga pandangan bahwa langkah ini adalah cara Partai Aceh (PA) untuk mempertahankan status quo, menghindari perubahan signifikan yang dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan yang sudah ada.
Keputusan untuk memilih Dek Fad sebagai pendamping Mualem bisa dilihat sebagai langkah pragmatis untuk mengakomodasi berbagai kepentingan politik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Ini adalah strategi untuk memperkuat posisi Partai Aceh dalam peta politik yang lebih luas. Namun, ini juga bisa dilihat sebagai tanda bahwa PA lebih memilih jalan aman dengan mempertahankan situasi yang ada daripada menghadapi tantangan dari kelompok-kelompok baru yang menginginkan perubahan.
Di sisi lain, keputusan jaringan ulama dan tokoh masyarakat untuk menarik dukungan terhadap Tgk Muhammad Yusuf A Wahab (Tu Sop) sebagai calon pendamping Mualem menambah lapisan kompleksitas baru dalam dinamika politik Aceh. Penarikan dukungan ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap proses politik yang berjalan, sebuah indikasi adanya kesenjangan antara harapan masyarakat dengan realitas politik yang diterapkan oleh PA.
Penulis berpendapat bahwa keputusan jaringan ulama dan tokoh masyarakat ini dapat berdampak signifikan. Pertama, Partai Aceh berpotensi kehilangan legitimasi jika tidak mampu mengatasi ketidakpuasan ini. Kehilangan dukungan dari kelompok yang memiliki basis moral dan intelektual yang kuat seperti ini dapat mengguncang fondasi dukungan Partai Aceh di tingkat akar rumput.
Kedua, kondisi ini membuka peluang bagi munculnya kekuatan politik baru atau memperkuat oposisi yang ada. Jika kelompok-kelompok ini mampu mengonsolidasikan kekuatan mereka, mereka bisa menjadi alternatif yang serius terhadap dominasi Partai Aceh, menciptakan perubahan lanskap politik Aceh yang lebih dinamis.
Penunjukan Dek Fad dan penghentian dukungan oleh jaringan ulama dan tokoh masyarakat mencerminkan ketegangan antara upaya mempertahankan kestabilan dan tuntutan akan perubahan. Pilihan ini mungkin berhasil menjaga stabilitas dalam jangka pendek, namun risiko stagnasi di jangka panjang juga perlu diwaspadai. Sebaliknya, ketidakpuasan yang tidak dikelola dengan baik bisa menjadi pemicu perubahan yang lebih substansial.
Pada akhirnya, dalam menghadapi Pilkada 2024 dan masa depan politik Aceh, penting bagi semua aktor politik untuk memahami bahwa kestabilan tanpa respons terhadap aspirasi masyarakat bisa berujung pada ketidakstabilan. Ujian dari pilihan-pilihan yang dibuat saat ini, termasuk penunjukan Dek Fad, akan menentukan arah masa depan politik Aceh.
Penulis adalah pemerhati sosial dan politik Aceh