*Oleh: Tgk. Burhanuddin Abdullah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia, termasuk di Aceh, semakin mendekat. Hiruk-pikuk politik mulai terasa di berbagai kalangan, tak terkecuali di lingkungan Dayah, lembaga pendidikan agama yang memiliki pengaruh signifikan dalam masyarakat Aceh.
Salah satu nama yang kerap dibicarakan dalam konteks ini adalah Teungku H. Muhammad Yusuf A. Wahab akrab disapa Tu Sop, seorang tokoh Dayah yang dianggap potensial untuk maju sebagai calon gubernur Aceh pada Pilkada 2024.
Namun, apakah benar Tu Sop layak untuk membawa nama Dayah dalam kontestasi politik ini? Pertanyaan ini membutuhkan pertimbangan yang mendalam dan komprehensif. Sampai saat ini, Tu Sop belum secara jelas mengungkapkan niatnya untuk maju dalam Pilkada.
Narasi yang diusungnya cenderung ambigu—seperti “mau tapi malu”—dan memberi ruang bagi berbagai spekulasi. Beberapa pihak bahkan melakukan manuver dengan mengatasnamakan elemen sipil, seperti mendaftarkan Tu Sop ke Partai Aceh atau mengumpulkan dukungan dari kalangan ulama dan pemuda.
Fenomena ini bukan hal baru di Aceh. Elemen Dayah sering kali dijadikan alat politik oleh berbagai pihak untuk meraih kemenangan. Namun, Pilkada 2024 tampaknya membawa pola baru, di mana indikasi adanya kolaborasi antara oknum Dayah dan elemen sipil semakin nyata. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Dayah, sekali lagi, hanya akan menjadi korban permainan politik.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Mualem, salah satu calon gubernur kuat dari Partai Aceh, hampir dipastikan akan memenangkan Pilkada 2024. Dengan dukungan Partai Gerindra, partai yang juga mengusung Prabowo sebagai presiden, serta keberadaan Haji Uma yang mendukung Mualem, peta kekuatan politik di Aceh tampaknya sudah terbentuk dengan solid.
Dalam konteks ini, peluang Tu Sop untuk mendampingi Mualem sebagai calon wakil gubernur pun semakin mengecil, terutama jika mempertimbangkan keberadaan Fadlullah alias Dek Fad, Ketua Partai Gerindra Aceh, yang lebih mungkin mendapat restu dari Prabowo.
Menariknya, menyadari kondisi ini, beberapa oknum tampaknya berusaha mencari celah dengan menggalang dukungan dari para Teungku. Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua yang menandatangani dukungan tersebut adalah pimpinan Dayah, melainkan beberapa hanya sebagai guru bahkan santri, mereka terpaksa ikut karena tekanan sosial.
Ironisnya, hal ini justru menguatkan kesan bahwa Dayah Aceh kembali berada di bawah bayang-bayang kepentingan politik tertentu, dan dikhawatirkan “kalah” sebelum kompetisi politik ini benar-benar dimulai.
Kesimpulannya, elemen Dayah Aceh saat ini berada dalam posisi yang rentan terhadap manipulasi politik. Jika tidak berhati-hati, Dayah bisa kembali menjadi alat dalam kontestasi politik, tanpa memperoleh manfaat yang signifikan. Keprihatinan ini dilontarkan bukan tanpa dasar, melainkan dari rasa cinta dan kepedulian terhadap masa depan Dayah dan para ulama di Aceh.
Penulis: Alumni Santri Bela Negara (SBN) 2021