Sekjen Partai Aceh, Aburazak: Penanganan Rohingya Jangan Bebani Rakyat Aceh
Orinews.id|Banda Aceh – Partai Aceh meminta Pemerintah Pusat untuk bertindak komprehensif terhadap pengungsi etnis Rohingya dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Saat ini kapal-kapal pengungsi Rohingya terus menerus masuk Aceh melalui perairan selat Malaka.
“Jangan tambah beban masyarakat Aceh. Rakyat Aceh sendiri butuh kepedulian sebagai akibat dari tata kelola Pemerintah Aceh yang lemah, dan dana Otsus yang menyusut,” kata Sekretaris Jenderal Partai Aceh, Kamaruddin Abubakar, yang akrab disapa Aburazak, di Banda Aceh, pada Kamis (14/12/2023).
Aburazak mempertanyakan mengapa kapal-kapal pengungsi Rohingya tersebut seperti diarahkan ke Aceh dan masuk begitu mudahnya. “Seolah-olah Indonesia nggak memiliki pertahanan di laut. Bukankah Indonesia memiliki TNI Angkatan Laut, bahkan di kepolisian juga memiliki Polairud,” kata Aburazak.
Aburazak mempertanyakan kinerja garis pertahanan laut Indonesia. “Mengapa pertahanan laut begitu lemah, sehingga kapal-kapal kayu seperti itu dengan mudahnya menembus batas negara Indonesia, seolah-olah kita tidak memiliki kedaulatan di laut,” kata Aburazak. “Atau sebaliknya, memang sengaja digiring masuk ke Aceh.”
Karena itulah, Aburazak meminta perhatian Pemerintah Pusat untuk mengembil Tindakan yang komprehensif. Di antaranya adalah memperbaiki manajemen pertahanan kelautan Indonesia.
Aburazak meminta Pemerintah Pusat menggandeng sejumlah negara-negara tetangga, tentu termasuk Myanmar sebagai negara asal Rohingya, dan mencari solusinya. “Selain itu meminta UNHCR untuk ikut terlibat aktif dan bertanggungjawab dalam persoalan ini,” kata Aburazak.
Persoalan pengungsi Rohingnya, kata Aburazak, harus dilihat secara lebih luas dan lebih jernih. “Menurut hasil kajian tim riset dari Partai Aceh, kasus Rohingnya ini adalah persoalan yang sudah sangat lama di Myanmar,” katanya.
Persoalan sudah muncul sejak Myanmar (ketika masih Bernama Burma) terpisah dari British-India pada tahun 1937. Etnis Rohingya sejak itu dianggap sebagai warga negara sementara, hingga sekarang ini masih tidak diakui status kewarganegaraannya.
Ketidakjelasan status kewarganegaraan itu, kata Aburazak, memunculkan beberapa faktor yang menyudutkan etnis Rohingya. “Paling utama adalah penindasan hak asasi atau persekusi dan kemiskininan. Etnis Rohingya telah lama ditindas, termasuk hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial,” kata Aburazak.
Sedangkan persoalan kemiskinan, Aburazak menjelaskan, merupakan akibat dari penindasan itu. “Sehingga mereka terjebak kemiskinan, dan keterbelakang,” kata Aburazak lagi. “Mereka tidak dilindungi oleh otoritas nasional di negaranya sendiri.”
Itulah yang menjadi penyebab ratusan ribu warga Rohingya telah meninggalkan tempat asalnya di Myanmar untuk menyelamatkan diri dan mengungsi ke wilayah lain. “Di antaranya termasuk ke Aceh,” katanya.
“Namun ini mau sampai kapan. Harus dipikirkan jalan keluarnya, jangan sampai justru mengorbankan rakyat Aceh juga.”
Bahwa ada persoalan kemanusiaan, kata Aburazak, semua pihak ikut prihatin. “Namun mengurus rakyat Aceh itu adalah yang utama dan yang paling penting. Jangan rakyat Aceh dimasukkan dalam pusaran persoalan yang tak berkesudahan itu.”
Jika ingin menampung pengungsi Rohingya, Aburazak mengingatkan soal kompleksitas masalah yang akan muncul. “Selain soal jumlahnya yang akan terus bertambah, rakyat Aceh harus menanggung resiko gangguan keamanan, kehadiran pengungsi membawa dampak negatif bagi negara tuan rumah, ini berupa beban logistik, akomodasi, dan sosial,” kata Aburazak.
“Perlu diingat juga, saat ini terjadi pelemahan komitmen dan berkurangnya semangat berbagi beban masyarakat internasional dalam menangani persoalan pengungsi. Jadi jangan berharap banyak untuk mendapat bantuan asing setelah mau menampung.” ujarnya.