Orinews.id|Kota Gaza – Gencatan senjata sementara atau jeda pertempuran antara kelompok Hamas dan Israel tertunda sehari dari jadwal yang disepakati sebelumnya, Kamis (23/11/2023). Penundaan terjadi karena komplikasi nama-nama sandera yang ada di tangan Hamas, masalah teknis pembebasan sandera dan tahanan, hingga kurangnya kesepahaman masing-masing pihak terhadap perjanjian yang disepakati.
Dalam jumpa pers, Kamis sore, di Doha, juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majid bin Mohammed Al-Ansari, mengatakan, berlakunya jeda pertempuran yang disepakati akan dimulai pada Jumat (24/11/2023) pukul 07.00 waktu Gaza atau 12.00 WIB. Ia juga mengungkapkan, gelombang pertama sandera di tangan Hamas yang akan dibebaskan 13 orang, perempuan dan anak-anak, pukul 16.00 waktu setempat.
Kantor Perdana Menteri Israel mengonfirmasi, pihaknya telah menerima daftar nama sandera yang akan dibebaskan, Jumat.
”Pihak-pihak terkait sedang memeriksa detail daftar (nama-nama sandera) dan saat ini berupaya menghubungi seluruh keluarga mereka,” kata pernyataan Kantor PM Israel.
Semula, seperti disebutkan oleh sumber keamanan di Mesir, para mediator meminta waktu mulai jeda pertempuran pada Kamis pukul 10.00 waktu setempat atau pukul 15.00 WIB.
Namun, penasihat keamanan nasional Israel, Tzachi Hanegbi, melalui pernyataan mengatakan, negosiasi pembebasan sandera masih terus berjalan dan belum mencapai titik final.
”Pembebasan akan dilakukan sesuai dengan kesepakatan awal di antara kedua belah pihak dan tidak dilakukan sebelum hari Jumat,” katanya dalam pernyataan yang dirilis kantor Perdana Menteri Israel.
Seperti diberitakan, Hamas dan Israel pada Rabu (22/11/2023) menyepakati penghentian pertempuran selama empat hari dan pertukaran sandera di tangan Hamas dengan tawanan Palestina di penjara Israel. Selama jeda pertempuran, disepakati Hamas akan membebaskan 50 sandera yang akan ditukar dengan 150 tahanan Palestina yang dipenjara oleh Israel. Selain itu, akses bantuan kemanusiaan ke Gaza, termasuk bahan bakar minyak, dibuka.
Informasi soal kendala yang menyebabkan penundaan jeda pertempuran simpang siur. Media penyiaran publik Israel, Kan, mengutip seorang pejabat Pemerintah Israel yang tidak mau disebutkan namanya melaporkan, penundaan pelaksanaan kesepakatan selama 24 jam terjadi karena perjanjian itu tidak ditandatangani Hamas dan Qatar sebagai negosiator.
”Tidak ada yang mengatakan akan ada pembebasan besok (Kamis) kecuali media. Kami harus memperjelas, tidak ada rencana pembebasan sebelum hari Jumat (24/11/2023),” tulis media itu, mengutip sebuah sumber di kantor PM Israel.
Laman media Israel, Times of Israel, mengutip seorang pejabat pemerintah Israel melansir, penundaan terjadi karena ada perbedaan pemahaman soal penandatanganan dokumen perjanjian di antara kedua belah pihak dan pembebasan sandera yang dimaksud.
Pejabat yang tidak mau disebutkan namanya itu mengatakan, klaim yang tersebar luas di media, termasuk di media Israel, Channel 12, yang menyatakan Direktur Mossad David Barnea telah menerima daftar sandera gelombang pertama yang akan dibebaskan tidak tepat. Pejabat itu meyakini, Barnea sama sekali belum menerima daftar nama-nama sandera tersebut dari Hamas.
Dia juga menyebut, Pemerintah Israel tidak akan memublikasikan nama-nama sandera yang akan dibebaskan untuk menghindari memberi harapan palsu kepada para keluarga sandera, terutama jika perjanjian itu pada akhirnya gagal.
Menurut beberapa laporan sebelumnya, Barnea sudah memiliki daftar sandera sejak Rabu ketika kesepakatan Hamas-Israel diumumkan. Barnea telah berada di Doha bersama Jenderal Nitzan Alon yang memegang nama-nama warga Palestina yang disandera oleh IDF. Keduanya dilaporkan bertemu dengan Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani untuk membahas rincian akhir kesepakatan tersebut.
Laporan Channel 12, Rabu malam, menyebutkan, penundaan itu disebabkan kurangnya pemahaman bersama mengenai aturan main selama jeda pertempuran empat hari.
Mekanisme pembebasan
Mekanisme pembebasan menjadi salah satu hal yang rumit. Menurut rencana, sandera yang dibebaskan oleh Hamas akan ditangani oleh Komite Internasional Palang Merah (ICRC) atau pihak lain yang belum ditentukan. Menurut seorang pejabat senior Israel, para sandera itu akan diserahkan kepada Pemerintah Israel melalui salah satu perbatasan internasional di Gaza.
Baru setelah menerima bukti bahwa sandera yang dibebaskan adalah warga negara Israel yang telah disepakati secara khusus, Israel akan membebaskan tahanan Palestina yang juga telah disepakati sebelumnya.
Setelah diterima di pihak Israel, para sandera akan diperiksa kondisi kesehatannya dan kemudian diterbangkan ke sebuah lokasi yang telah disepakati untuk bertemu dengan keluarga mereka.
Mekanisme ini, menurut laporan Times of Israel, semakin rumit karena ada ketidaksepakatan soal klasifikasi sandera. Selain itu, belum ada kesepakatan juga tentang persyaratan bahwa ICRC bisa mengunjungi seluruh sandera yang tersisa sebagai bagian dari bagian penting serta mengikat dalam perjanjian jeda pertempuran.
AS, menurut seorang pejabat Israel, bersama Mesir dan Qatar tengah mengupayakan agar Hamas mematuhi hal-hal itu.
Keseluruhan kesepakatan, tambah pejabat tersebut, tidak diformalkan dalam dokumen yang ditandatangani, tetapi diratifikasi melalui pengumuman bersama antara Israel dengan AS dan Hamas dengan Qatar.
Akan tetapi, menurut laporan kantor berita AP, Hamas maupun ICRC tidak membenarkan hal tersebut.
Direktur RS ditangkap
Di tengah tertundanya jeda pertempuran, seperti dilaporkan Al Jazeera, pada Kamis kemarin Israel mengebom sebuah rumah di permukiman Sheikh Radwan di Kota Gaza. Sedikitnya 10 orang tewas.
Hingga Kamis, menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, lebih dari 13.300 warga Palestina tewas dan sekitar 6.000 warga lainnya hilang.
Sementara Direktur Rumah Sakit Al-Shifa Mohammad Abu Salmiya dan beberapa petugas medis lain—satu dokter dan dua perawat—ditangkap tentara Israel. Abu Salmiya kerap dikutip keterangannya oleh media internasional terkait kondisi RS Al-Shifa.
Rumah sakit tersebut menjadi salah satu fokus gempuran Israel yang mengklaim rumah sakit dijadikan pusat komando Hamas. Hamas membantah tudingan tersebut.
|Sumber: Kompas