Sidang Lanjutan Gugatan Parbulk, Putusan Pengadilan Asing Bisa Jadi Dasar Putusan Terhadap HITS

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Orinews.id|Jakarta – Sidang perkara gugatan Parbulk II AS (Parbulk) kepada PT Humpuss Intermoda Transportasi (HITS) dengan nomor perkara No. 116/Pdt.G/2023/PN JKT.SEL telah memasuki tahap pemeriksaan saksi ahli, Senin (11/9/2023).

Parbulk sebagai penggugat menghadirkan dua orang saksi ahli, yaitu M. Yahya Harahap S.H., mantan Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan James Purba S.H., M.H selaku Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). Kedua ahli ini dihadirkan untuk memberikan pandangan mereka terkait kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam memeriksa gugatan yang diajukan oleh Parbulk.

Dalam keterangannya, Harahap mengatakan bahwa putusan pengadilan asing bernilai sebagai akta otentik dan dapat dijadikan dasar mengajukan gugatan perkara baru di pengadilan Indonesia. Mantan Hakim Agung ini mengatakan bahwa gugatan perkara baru ini dapat berbentuk gugatan wanprestasi jika pokok sengketa yang diputus oleh putusan pengadilan asing itu adalah wanprestasi atau breach. Berdasarkan Pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering atau Rv dan Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, maka gugatan perkara baru tersebut tunduk pada yurisdiksi pengadilan perdata.

Sementara saksi ahli kedua yang dihadirkan Parbulk, yakni James Purba S.H., M.H, mengatakan bahwa gugatan perkara baru tersebut harus memperhatikan Pasal 118 Herzien Inlandsch Reglement atau HIR, yaitu diajukan ke pengadilan negeri dimana tergugat berdomisili. Purba juga menerangkan bahwa suatu proses PKPU tidak menghalangi diajukannya perkara baru. Apabila ada kreditor yang dahulu tidak dipanggil secara patut, sehingga tidak ikut dalam proses PKPU, dan namanya tidak tercantum dalam Putusan PKPU, kemudian mengajukan perkara baru dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan asing berdasarkan Pasal 436 Rv, maka hal itu diperbolehkan.

Senada dengan Harahap, pakar hukum perdata yang juga pengajar hukum perdata dari Universitas Trisakti, Dr. Asep Iwan Iriawan, S.H., M.H, mengatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Inggris adalah akta otentik. Dengan begitu, kekuatan hukumnya telah sempurna, formal, material, dan mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa. Maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dapat menggunakan dasar dari putusan Pengadilan Tinggi Inggris sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan.

“Di Pengadilan Tinggi Inggris HITS sudah kalah, di arbitrase juga Heritage kalah. Jadi harusnya utang itu harus dibayar oleh HITS sebagai penanggung. Jangan sampai putusan yang salah dari pengadilan mengakibatkan terganggunya kepercayaan luar negeri terhadap masa depan investasi di Indonesia,” kata Asep menjelaskan.

Lebih lanjut Asep menyatakan, “Perkaranya sederhana, karena sudah ada dasarnya di putusan Pengadilan Tinggi Inggris, maka Majelis Hakim bisa mengabulkan gugatan tersebut, karena akta otentik buktinya sempurna dan mengikat. Sitanya juga layak dikabulkan karena berdasarkan akta otentik.”

Asep menilai masih menaruh harapan kepada pengadilan akan ada keadilan berdasarkan fakta yang sebenarnya. Ia menilai persidangan ini harus dalam kerangka yang adil sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. “Jadi kalau dalam kasus ini Majelis Hakim masih main-main maka akan berdampak negatif terhadap kepercayaan investasi di luar negeri,” ujarnya.

Sementara pada persidangan sebelumnya (15/8), HITS mengagendakan pemeriksaaan saksi ahli, namun pada saat persidangan, pihaknya tidak dapat menghadirkan saksi ahli seperti yang diagendakan sebelumnya.

Latar Belakang Gugatan

Gugatan Parbulk II AS kepada PT Humpuss Intermoda Transportasi Tbk (HITS) berawal dari Perjanjian Sewa Kapal – BIMCO Standard Bareboat Charter pada 11 Desember 2007 (“Perjanjian Sewa Kapal”), dimana berdasarkan Perjanjian Sewa Kapal, Parbulk setuju untuk menyewakan kapal Mahakam kepada Heritage.

Sebelumnya pada 5 Desember 2007 Direksi dan Dewan Komisaris HITS telah menandatangani keputusan sirkuler sebagai pengganti rapat Direksi dan pengganti rapat Dewan Komisaris yang menyetujui dibuatnya Surat Penanggungan Perusahaan yang dilegalisasi oleh Muslim, S.H., M.Kn, Notaris di Kabupaten Karawang dengan No. 69/LEG/N/XII/2007 (“Surat Pernyataan Penanggungan”).

Surat Pernyataan Penanggungan ini menjadi satu kesatuan dengan Perjanjian Sewa Kapal yang dilakukan Parbulk dengan Heritage, Dengan adanya Surat Pernyataan Penanggungan ini maka HITS memiliki hubungan hukum langsung dengan Parbulk, dan menjadikan HITS sebagai pihak penanggung yang memberikan penanggungan tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali atas seluruh kewajiban Heritage sebagai bagian dari anak usaha HITS. Keberadaan Surat Pernyataan Penanggungan ini telah sesuai dengan yang disyaratkan UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Pasal 102 ayat (1), (3), dan (4).

Selanjutnya Heritage ternyata gagal membayar sewa Mahakam mulai periode sewa 16 April 2009 sampai dengan 15 Juni 2009. Berbagai upaya telah dilakukan Parbulk untuk mendapatkan haknya sesuai Perjanjian Sewa Kapal. Parbulk telah melakukan gugatan hukum terhadap Heritage melalui lembaga arbitrase London Maritime Arbitrators Association (“LMAA”) dan kepada HITS melalui High Court of England (“Pengadilan Tinggi Inggris”).

Kedua lembaga ini memenangkan gugatan Parbulk, namun baik Heritage  maupun HITS tidak menghormati putusan-putusan tersebut dan tetap tidak membayar kewajibannya hingga saat ini. Sebagai akibat dari wanprestasi yang telah dilakukan oleh HITS, Parbulk mengalami kerugian sejumlah USD48.183.659,87.

Direktur Parbulk II AS, Christian Due, mengatakan bahwa Indonesia perlu mendukung penegakan supremasi hukum dan memastikan agar kontrak bisnis internasional dihormati, baik secara prinsip maupun praktik.

“Indonesia perlu menjaga kepercayaan dunia internasional dengan memastikan agar semua pengadilannya mendukung kemudahan berbisnis (ease of doing business) di Indonesia dan penegakan kontrak internasional, selain juga menegakkan putusan yang dijatuhkan oleh majelis arbitrase internasional dan pengadilan asing terhadap pihak Indonesia dimana tanpanya, investor asing berisiko enggan dalam berinvestasi di Indonesia.” ujarnya.

Saat ini, Parbulk tengah mengajukan gugatan terhadap HITS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas wanprestasinya terhadap Surat Pernyataan Penanggungan dengan menjadikan Putusan Pengadilan Tinggi Inggris sebagai dasarnya.

Dalam petitum gugatannya, Parbulk memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengabulkan seluruh gugatannya dan mengabulkan sita jaminan yang diajukan oleh Parbulk guna mencegah tidak dapat dilaksanakannya putusan tersebut dikemudian hari.

“Kami memohon dengan hormat kepada Pengadilan untuk mengabulkan hak-hak kami. Perkara ini sepatutnya diselesaikan sesuai dengan keadilan, atau hal ini akan menjadi preseden buruk bagi investor asing yang berbisnis dengan perusahaan Indonesia. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia serta peringkat Indonesia dalam hal penegakan kontrak bisnis internasional di Indonesia.” tambah Due.

Putusan Terhadap HITS dan Anak Perusahaannya

  1. Proses Arbitrase terhadap Heritage
    Pada 6 Agustus 2009, Parbulk mengajukan permohonan arbitrase terhadap Heritage sesuai dengan peraturan arbitrase LMAA yang berlaku. Pada 23 Desember 2010, majelis arbitrase ad hoc LMAA menjatuhkan Putusan Arbitrase Pertama dan memutuskan bahwa Heritage harus membayar kepada Parbulk sejumlah USD27.031.759,04.
  2. Tuntutan terhadap HITS di Pengadilan Tinggi Inggris
    Parbulk juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Inggris, sesuai Surat Pernyataan Penanggungan yang menyatakan Pengadilan Tinggi Inggris sebagai forum penyelesaian sengketa yang non-eksklusif terhadap Perjanjian Sewa Kapal. Pengadilan Tinggi Inggris memenangkan Parbulk dan, sesuai putusan No.58/2010, telah memerintahkan HITS untuk membayar USD28.013.750,51 ditambah bunga kepada Parbulk.

Terlepas dari kedua putusan yang telah memenangkan Parbulk ini, Parbulk belum pernah menerima pembayaran apa pun dari HITS atau Heritage.