Suku Bunga The Fed Naik, Jangan Panik Ini Sektor Investasi Paling Bergairah
Orinews.id|Jakarta – Suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) saat ini berada di level 5,25 – 5,50%. Angka ini disebut menjadi yang tertinggi sejak lebih dari dua dekade lalu. Lalu apa dampaknya bagi ekonomi global dan bagaimana pengaruhnya terhadap ekonomi domestik Indonesia?
Paparan tersebut tersaji dalam diskusi Talkshow Tumbuh Makna dengan tema “Pengaruh Kenaikan Suku Bunga The Fed Terhadap Ekonomi Global dan Indonesia”, yang berlangsung di Jakarta baru-baru ini. Dalam agenda tersebut, diskusi dihadiri narasumber Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara dan Co-Founder Tumbuh Makna Benny Sufami.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat sangat jelas memiliki pengaruh bagi negara-negara berkembang. Namun bagi Indonesia, kenaikan ini ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Mengapa?
“Tapi untuk kasus Indonesia itu agak menarik. Ketika suku bunga negara maju seperti The Fed, biasanya kita juga melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Tapi kali ini berbeda, kenaikan suku bunga dari The Fed ternyata tidak diikuti oleh kenaikan suku bunga BI. Faktornya banyak, karena menaikan suku bunga secara agresif dapat berdampak pada pinjaman konsumen yang akan jauh lebih mahal dan akan mengganggu pemulihan konsumsi domestik. Selain itu, banyak industri yang juga akan terpengaruh dengan kenaikan suku bunga tersebut,” kata Bhima dalam keterangannya kepada media orinews.id, Senin, 14 Agustus 2023.
Lebih jauh, Bhima bahkan menganalisis roda ekonomi Indonesia lebih terhubung dengan pergerakan Tiongkok ketimbang Amerika, sehingga kenaikan suku bunga The Fed tidak secara otomatis mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Karena Tiongkok adalah salah satu negara asal investasi yang terbesar, dan mitra investasi Indonesia. Kedua, mereka adalah mitra dagang. Kita ekspor ke Tiongkok itu bisa seperempat dari total ekspor Indonesia, kira-kira sekitar 25% kita kirim ke Tiongkok, dan itu tentu sangat mempengaruhi,” tuturnya.
Bahkan Bhima kembali menjelaskan dengan mengambil riset sebuah studi, bahwa setiap satu persen penurunan ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat, pengaruhnya ke Indonesia hanya 0,01%. Namun jika ekonomi Tiongkok turun 1% saja dalam PDB mereka, maka imbas ke Indonesia bisa mencapai 0,3%.
“Jadi kita lebih sensitif dengan ekonomi Tiongkok. Sehingga kenaikan suku bunga AS belum tentu berdampak langsung ke capital market maupun surat utang di Indonesia, setidaknya dalam jangka waktu yang dekat,” tambahnya.
Meski fundamental ekonomi nasional kuat, Bhima menyatakan, pada tahun depan Indonesia perlu mewaspadai gejolak ekonomi yang akan terjadi.
“Semester II 2023 dan 2024 akan banyak dinamika yang terjadi. The Fed tetap penting untuk diperhatikan tapi mesti ditambah dengan faktor-faktor lainnya sehingga kita bisa mitigasi beberapa risiko. Inflasi di Indonesia saat ini masih bisa ditahan, cadangan devisanya masih bagus, suku bunga pun masih bisa ditahan, tapi kalau Amerika suku bunganya masih terus 5,25%, maka kita harus tawarkan bunga. Karena bila ada penyesuaian jangka panjang, kasihan industri karena suku bunga pinjaman juga akan menjadi mahal dan pengaruhnya juga pada penyaluran pertumbuhan kredit perbankan dan berdampak pada imbal hasil yang harus ditawarkan oleh berbagai instrumen investasi di Indonesia,” katanya.
Bhima meyakini ekonomi kuartal III 2023 nanti akan banyak tantangan yang mesti diwaspadai, terutama mengenai ketidakseimbangan antara pendapatan dan kebutuhan.
“Di kuartal III ini, ada kebutuhan yang terus meningkat, meskipun inflasi kita terbilang cukup baik dan terkendali bahkan agak sedikit menurun, tapi yang perlu diketahui di kuartal II adalah ini tidak ada momen musiman dimana masyarakat bergerak untuk berwisata secara masif, itu tantangannya. Di kuartal III biasanya belanja pemerintah mulai meningkat tetapi belum setinggi di kuartal IV. Meski begitu, kemungkinan pertumbuhan pada kuartal III berada pada kisaran 4,9%,” katanya.
Sementara itu, Co-Founder Tumbuh Makna, Benny Sufami memprediksi situasi ekonomi global saat ini tidak memberikan tekanan yang signifikan bagi ekonomi domestik di Indonesia. Hal itu didapati karena fakta bahwa ekonomi nasional pada kuartal II sangat baik, khususnya angka PDB Indonesia yang berada di atas 5% dengan tren inflasi yang relatif stabil, yang tentunya menunjukan sentimen positif.
“Berdasarkan data riset yang Tumbuh Makna peroleh, ekonomi kuartal II 2023 PDB kita 5,17%. IMF menyatakan bahwa maksimal pertumbuhan ekonomi dunia hanya akan bertumbuh maksimal 3%, itu sudah cukup bagus bagi ekonomi domestik kita. Itu sudah cukup baik di tengah kondisi tekanan ekonomi global. Kedua, data inflasi awal bulan sudah diumumkan, dan hasilnya inflasi harga konsumen lebih rendah dari kuartal sebelumnya yakni dari 3,52% ke 3,08% (yoy),” katanya.
Untuk itu, pada kondisi seperti ini, Benny melihat masih terdapat peluang investasi yang sangat menarik. “Untuk peluang, kami melihat ada di pasar saham dan pasar obligasi, valuasinya juga masih sangat menarik. Tantangannya adalah investor hanya perlu lebih bersabar. Sebab kita lihat di semester I, Indeks Harga Saham Gabungan stagnan, sementara di semester kedua ini lah kami melihat akan sangat menarik.” ujarnya.
Lalu mengapa IHSG bisa menarik dan perlu ditunggu investor? Benny melihat peluang IHSG akan naik kembali terbuka.
“Jadi di semester II, kami melihat peluang naiknya IHSG sangat terbuka. Yang pertama karena penurunan harga komoditas sudah terbatas. Kedua, karena adanya kegiatan domestik yang disinyalir akan meningkat, sebab KPU dan DPR hingga pemerintah sendiri sudah menyetujui budget Pemilu sekitar Rp 76 triliun. Itu tentunya memiliki dampak positif bagi ekonomi kita, sehingga akan mengerek positif di dalam IHSG. Ketiga, tingkat inflasi kita cukup terkendali. Dan keempat, kenaikan suku bunga diperkirakan sudah mencapai puncaknya,” ujarnya.
Benny optimistis bahwa IHSG akan menguat. Analisa ini diperkuat berdasarkan riwayat data IHSG jelang pemilu di tahun politik.
“Berdasarkan data yang kami kumpulkan. Biasanya 6 bulan sebelum pemilu, IHSG itu mengalami kenaikan. Ini pernah terjadi misalnya di tahun 2014 dan 2019. Dimana pada tahun 2014, 6 bulan sebelum pemilu, IHSG mengalami kenaikan 19,6%, lalu pada tahun 2019 pun IHSG mengalami kenaikan 11,7%. Memang tidak ada jaminan ini akan berulang, tapi polanya selalu seperti itu. Untuk itu, kami optimistis di semester II ini, IHSG bisa mengalami kenaikan,” ujarnya.
Ia pun meyakini bahwa pasar obligasi akan naik dan itu merupakan kesempatan yang mesti dimanfaatkan oleh para investor.
“Tumbuh Makna melihat ada ruang untuk Bank Indonesia di awal tahun 2024 untuk menurunkan tingkat suku bunga. Kami ambil benchmark-nya, untuk surat utang negara (SUN) Seri 10 tahun, saat ini yield-nya berada pada posisi 6,3% dan kami melihat tahun depan itu bisa di posisi 6,1%. Jadi ada potensi kenaikan harga obligasi. Ada kesempatan dan peluang untuk dimanfaatkan menjadi keuntungan. Ke depan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup terjaga di atas 5%, bahkan walaupun turun di angka 4,8% atau 4,9%, kami masih melihat peluang investasi, khususnya di equity dan obligasi,” katanya menganalisa.[*]