Orinews.id|Sigli – Wakil Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA), Kamaruddin Abubakar (Aburazak), menanggapi kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju serta duta besar negara sabahat ke Pidie dalam rangka Peluncuran Program Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat di Aceh.
Di satu sisi, Aburazak yang juga adalah Sekretaris Jenderal Partai Aceh, memberi apresiasi atas kedatangan Presiden dan Menteri Kabinet Indonesia Maju serta duta besar negara sabahat tersebut.
“Secara etika manusiawi, maka kedatangan pejabat nomor satu di Indonesia tentu patut diapresiasi. Sebab baru kali ini ada pejabat nomor satu di negeri ini yang sudi melihat langsung lokasi pelanggaran HAM berat di Aceh, khususnya di Rumoh Geudong, dan membicarakan langkah-langkah penyelesaiannya,” katanya.
Aburazak menambahkan, bahwa kedatangan Presiden dan rombongan dalah moment penting bagi para korban pelanggaran HAM berat dan juga para keluarganya. “Namun, yang lebih penting lagi nanti kita lihat apa yang akan terjadi setelah kepulangan mereka,” kata Aburazak.
“Apakah kedatangan mereka akan membawa makna penting bagi korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya yang terjadi di Rumoh Geudong?” kata mantan Wakil Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini lagi.
“Apa tindak lanjut dari kunjungan tersebut, apakah akan terwujud keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat dan keluarnya itu atau tidak? Kan itu pertanyaan penting yang perlu dijawab. Apakah, apresiasi yang kita tunjukkan ini diikuti oleh pejabat-pejabat lain di bawahnya. Apakah mereka menghormati pemimpin yang sudah datang ke Rumoh Geudong tersebut dengan menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat tersebut,” Lanjutnya.
Keadilan yang dimaksudkan Aburazak bukan hanya dari sisi non-yudisial, namun juga dalam perspektif hukum. Aburazak menyebutkan, dari sisi non-yudisial pihak KPA sudah menyurati Presiden Jokowi pada 19 Juni 2023. Dalam surat itu diareal Rumoh Geudong dapat didirikan musem, pembangunan kompleks pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi vokasi atau politeknik, dan dana abadi Rp3 triliun untuk biaya pendidikan putra-putri eks kombatan dan korban komflik (korban pelanggaran HAM).
Permintaan yang diajukan KPA itu, kata Aburazak, adalah bagian dari memberi keadilan bagi masyarakat korban konflik dan pelanggaran HAM berat. Di samping itu, kata Aburazak, keadilan dalam perspektif hukum juga tak kalah pentingnya.
“Jika keadilan ditegakkan maka masyarakat Aceh tentu akan meyakini bahwa telah terjadi perubahan besar pada penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum sudah pasti dapat merawat hubungan-hubungan sosial yang lebih baik di masa depan,” katanya.
Sebelumnya Presiden Jokowi telah menyatakan penyelesaian pelanggaran HAM berat itu akan diselesaikan secara non-yudisial. Untuk proses non-yudisial tersebut, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menjelaskan korban pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong perlu didata kembali.
“Sebab terjadi terjadi saat Aceh ditetapkan sebagai DOM, yang korbannya masih tercecer akan didata kembali oleh negara. Negara tentunya akan menyelesaikan nantinya terhadap korban pelanggaran HAM berat, yang belum didata,” katanya.
Korban pelanggaran HAM berat yang telah dilaporkan Komnas HAM akan direhabilitasi, dengan dilakukan pemenuhan dan pemulihan terhadap hak-hak korban sebagai korban pelanggaran HAM berat.
Mahfud menambahkan saat ini negara memproses non yudisial terhadap pemulihan hak-hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong. Sementara proses penyelesaian yudisial dilakukan di pengadilan.
Secara terpisah, Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Aceh, Dr. Nurlis Effendi, mengatakan bahwa negara berwenang mengambil langkah penyelesaian secara non-yudisial. “Itu niat baik dari negara. Namun, bukan berarti mengenyampingkan proses yudisial dalam pelanggaran HAM berat terebut,” katanya.
Hanya saja, kata Nurlis, penyelesaian yang di luar koridor hukum tersebut apakah akan menjadi bagian dari menciptakan keadilan? “Itu yang perlu kita ketahui jawabannya. Bagaimana pun yang kita butuhkan adalah keadilan,” katanya. “Masalahnya, korban dan keluarga akibat pelanggaran HAM berat terebut sudah puluhan tahun menunggu datangnya keadilan di negeri ini,” katanya.
Padahal, kata Nurlis, negara Indonesia memiliki instrument hukum untuk penanganan kasus HAM berat. “Hanya saja, dalam penyelesaian kasus HAM sering terjadi gesekan politik. Bagaimana, misalnya, menangani pelanggaran HAM jika di antara aktor yang menjadi bagian kasusnya justru eksis di panggung politik, dan bahkan ada juga yang menjadi pejabat,” katanya.
“Di situ menjadi salah satu dilemmanya. Masalahnya hukum di Indonesia juga bergerak berkelindan dengan kepentingan politik. Jika hukum benar-benar berdaulat tentu tidakan menjadi masalah,” kata Nurlis lagi. []