Orinews.id|Sigli – Penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong, salah satu situs pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Kabupaten Pidie, Aceh, menuai kritik dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai penghancuran tersebut sebagai upaya menghapus sejarah dan memori kolektif rakyat Aceh atas konflik yang terjadi selama tiga dekade.
Penghancuran Rumoh Geudong dilakukan oleh tim pemerintahan Kabupaten Pidie pada 20-21 Juni 2023 sebagai bagian dari persiapan kick-off Pelaksanaan Rekomendasi Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (PKPHAM). Kick-off akan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo di Rumoh Geudong pada 27 Juni 2023.
Rumoh Geudong adalah tempat penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan pembunuhan yang paling diingat dan dikenang oleh rakyat Aceh. Sejak tahun 2017, para penyintas dan masyarakat sipil telah merawat cerita para korban dan penyintas, dan menuntut keadilan atas pelanggaran yang mereka alami.
Para penyintas secara rutin menyelenggarakan doa bersama dan membangun tugu peringatan untuk mengingat kekerasan yang terjadi masa lalu dan mengenang keluarga yang telah pergi. Oleh karena itu, upaya korban dan penyintas untuk merawat sisa bangunan Rumoh Geudong dan membangun tugu peringatan menjadi ruang pemulihan korban dan pendidikan bagi generasi muda agar kekerasan yang sama tidak terulang lagi.
Insiatif korban ini dinilai sejalan dengan perspektif keadilan transisi yang menempatkan memorialisasi sebagai komponen penting dalam merawat kebenaran, pemulihan, dan memastikan pertanggungjawaban hukum.
Farida Haryani, Direktur Paska Aceh, salah satu organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam pernyataan bersama mengecam penghancuran Rumoh Geudong, menegaskan bahwa penghancuran ini sangat merendahkan martabat korban dan masyarakat setempat. Suara mereka telah diabaikan dalam proses ini
“Kami dari organisasi masyarakat sipil sangat menyesalkan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong, yang merupakan salah satu situs pelanggaran HAM berat di Kabupaten Pidie ini,” katanya kepada media, Kamis (22/6/2023).
Menurut Farida, tim pemerintah Kabupaten Pidie telah bekerja secara terburu-buru, tidak berdasar pada hasil pendataan korban yang utuh dari Komnas HAM, mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran yang telah dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, serta menihilkan inisiatif korban dan penyintas dalam membangun memorialisasi di Rumoh Geudong.
“Negara harus memastikan bahwa memorialisasi yang diupayakan akan menerapkan prinsip partisipasi yang berarti bagi korban dan berpusat pada kebutuhan dan kepentingan para penyintas, berdasarkan prinsip-prinsip hak korban pelanggaran HAM,” ujarnya.
Farida juga mengingatkan bahwa dalam sambutan peresmian tugu Rumoh Geudong yang diinisiasi oleh penyintas tahun 2018 saat itu, Bupati Pidie, Roni Ahmad, menyatakan bahwa monumen ini harus menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk terus berbuat yang terbaik dalam membangun dan merawat kesejahteraan masyarakat.
“Jangan lupakan apa yang terjadi di masa lalu dan teruslah melangkah menuju masa depan,” kata Roni saat itu.
Namun, kata Farida, sikap Bupati Pidie saat ini bertentangan dengan Bupati sebelumnya. “Penghancuran ini merupakan upaya lancung penghilangan barang bukti, pengaburan kebenaran, penghapusan sejarah dan memori kolektif rakyat Aceh atas konflik di Aceh sejak tahun 1976 hingga 2005,” tegasnya.
Farida menuntut agar negara mematuhi standar internasional dalam membangun memorialisasi, termasuk memastikan agar prinsip-prinsip hak korban pelanggaran HAM dipenuhi. Langkah-langkah simbolik yang akan dilakukan harus ditindaklanjuti dengan reparasi komprehensif.
“Negara juga harus memastikan langkah-langkah perlindungan yang memadai bagi para penyintas dan keluarga korban sebagai bentuk pengakuan atas kerentanan dan ancaman yang mereka hadapi, sebagai akibat dari upaya mereka dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan melawan impunitas,” pungkasnya.*
|Editor: Awan