Orinews.id|Ankara – Pemilihan umum presiden Turki putaran kedua akan berlangsung pada Minggu (28/5/2023). Kedua kandidat tersisa, petahana Presiden Reccep Tayyip Erdogan dan oposisi Kemal Kilicdaroglu kini sama-sama mengumandangkan isu nasionalisme yang konservatif.
Masyarakat dari kalangan konservatif Turki menjadi rebutan kedua calon presiden untuk masa jabatan 2023-2028. Bagi Erdogan, jika menang, ini adalah masa jabatannya yang kelima. Ia sudah 20 tahun memimpin Turki.
Pada 14 Mei lalu, pilpres putaran pertama ternyata tidak menghasilkan satu kandidat pun yang meraih 50 persen suara. Erdogan memperoleh 49,5 persen suara, Kilicdaroglu 44,9 persen, dan kandidat nasionalis sayap kanan Sinan Ogan mendapat 5,2 persen. Setelah tersingkir, Ogan menyatakan dukungan untuk Erdogan.
Dari 85 juta penduduk Turki, ada 64 juta orang yang berhak memilih. Sebanyak 6 juta di antara mereka adalah pemilih perdana. Total ada 87,04 persen pemilih yang menggunakan hak suara mereka.
Pasca-putaran pertama, Kilicdaroglu mengubah taktik pemenangan suara. Sebelumnya, ia terkenal sebagai oposisi yang menentang Erdogan. Kilicdaroglu selalu mengatakan hendak mengakhiri pemerintahan otoriter yang diterapkan Erdogan. Ia ingin mengembalikan Turki kepada marwah sesuai amanat Mustafa Kemal Ataturk, bapak bangsa Turki modern.
Kilicdaroglu ingin mengembalikan kekuasaan legislatif dan yudikatif agar bisa mengimbangi eksekutif. Dia juga mengatakan hendak mengembalikan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Akan tetapi, setelah 14 Mei, ia mengumumkan koalisi enam partai yang mencakup partai ultranasionalis. Ada Partai Kemenangan (VP) yang antipengungsi dan partai pro-Kurdi, HDP.
”Jika saya terpilih menjadi presiden, saya akan mendeportasi semua pengungsi. Titik,” kata Klicdaroglu, dikutip BBC, Jumat (26/5/2023). Perkataan itu berarti ia akan memulangkan 3 juta pengungsi dari Suriah. Hal itu ditanggapi dengan antusias oleh kalangan konservatif Turki yang menuduh kaum imigran ini mengacaukan ekonomi, membawa masalah sosial, dan merebut pekerjaan mereka.
Pemimpin HDP Pervin Buldan menjelaskan, koalisi Kilicdaroglu ini ingin mengakhiri 20 tahun pemerintahan otoriter. Menurut dia, berbagai kebijakan condong memberi lampu hijau untuk konflik. Ini yang kemudian mendatangkan masalah pengungsi.

Pemerintahan Erdogan telah berjalan selama 20 tahun dan tampak tidak kehilangan kepopuleran di tengah rakyat walaupun pada Februari lalu Turki diguncang gempa dan setidaknya 50.000 orang tewas. Penyebab korban berjatuhan ialah aturan pembangunan gedung yang tidak beres dan tetap diizinkan oleh Erdogan dan orang-orang terdekatnya.
”Faktanya, Erdogan ini licin seperti teflon. Dia mengerti betul cara berkomunikasi dengan rakyat kecil. Kilicdaroglu memang mengusung nilai-nilai demokratis, tetapi kurang luwes kepada kalangan awam,” kata dosen hubungan internasional Universitas Kadir Has, Soli Ozel, kepada BBC.
Per Mei 2022, Turki mengalami inflasi hingga 43 persen dan harga barang meroket. Akan tetapi, ini tidak menyurutkan dukungan dari kelas pekerja. Salah satunya Ayse Ozdogan, ibu rumah tangga. Suaminya bekerja sebagai sopir taksi. ”Erdogan membangun jalan raya, kereta cepat, dan masjid. Saya terus mendukung dia,” ujarnya.
Anak muda khawatir
Kondisi berbeda terjadi di kalangan anak muda. Mereka mengutarakan kekecewaan karena arah pilpres ini semakin ke kanan. Bahkan, sejumlah anak muda semakin mempertimbangkan rencana untuk pindah ke luar negeri. Mereka khawatir apabila Turki menjadi semakin konservatif.
Pada 2022, Yayasan Konrad-Adenauer menerbitkan hasil survei kependudukan. Terungkap bahwa 72,9 persen penduduk berusia 18-25 tahun menginginkan pindah ke luar negeri apabila ada kesempatan. Responden ini mencakup anak-anak muda pendukung Erdogan. Di dalam survei itu mereka lelah dengan keadaan ekonomi yang tidak membaik.
Ezgi, seorang mahasiswa berumur 25 tahun, juga merencanakan pindah. ”Saya tidak mau tinggal di Turki rasa Iran,” katanya.
|Sumber: Kompas