Orinews.id|Jakarta – Amerika Serikat disebut ketar-ketir jika presiden petahana Recep Tayyip Erdogan menang melawan rival terkuatnya, Kemal Kilicdaroglu, di pemilihan umum Turki.
AS pun dilaporkan terus memantau ketat pemilu tersebut, apalagi setelah Erdogan masih unggul tipis di putaran pertama pemilu pada Minggu (14/5).
Dengan berbagai manuver, Erdogan diprediksi dapat mengalahkan Kilicdaroglu. AS pun cemas jika nantinya Erdogan duduk lagi di kursi kepresidenan Turki.
Menurut analisis CNN, nasib Erdogan akan berdampak besar bagi kebijakan luar negeri AS, meski Turki juga merupakan anggota NATO.
Salah satu alasannya adalah Erdogan akrab dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Erdogan pun kerap membingungkan presiden AS, Joe Biden, terutama soal perang Rusia-Ukraina.
Erdogan memang berusaha menjadi mediator bagi Rusia dan Ukraina. Turki bahkan beberapa kali menjadi tuan rumah untuk pembicaraan damai kedua negara yang tengah perang itu. Namun, ia tetap dekat dengan Putin.
Beberapa waktu lalu, Erdogan juga menegaskan kedekatannya dengan Putin. Pernyataan ini muncul usai Rusia dituduh terlibat menyebarkan hoaks dalam pemilu Turki.
“Saya tidak bisa membiarkan ini. Hubungan kami dengan Rusia tak kalah penting dengan hubungan dengan Washington,” ujar Erdogan, seperti dikutip Haaretz.
AS mengamati hubungan Putin dan Erdogan ini karena menjadi gambaran luas tantangan Biden yang selama ini dikelilingi pemimpin-pemimpin negara otoriter.
Tak hanya Putin dan Erdogan, sejumlah kepala negara bertangan besi lainnya juga belakangan ini menjadi tantangan bagi Biden, termasuk Presiden China, Xi Jinping, dan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un.
Biden pun sudah berulang kali menyerukan perjuangan untuk melestarikan demokrasi di dunia internasional.
Dalam pertemuan di Gedung Putih pada Maret lalu, dia menyatakan upaya besar-besaran Barat dalam mendukung Ukraina dan menjauhkan negara itu dari pemerintahan otokratis.
Erdogan sendiri merupakan cerminan pemimpin tak demokratis, yang dianggap tidak sejalan dengan Biden dan pemerintahan AS. Di dalam negeri, Erdogan terus memberangus demokrasi.
Selama dua dekade berkuasa, Erdogan dianggap kerap melemahkan pengaruh institusi demokrasi, seperti pengadilan dan pers. Ia juga terus membungkam oposisi, terutama dari kaum Kurdi.
Erdogan diperkirakan tak akan berubah jika terpilih lagi menjadi presiden. Sikap Erdogan memberangus kebebasan pun bakal terus membuat pemimpin negara-negara Barat frustrasi.
Sikap Erdogan memberangus kebebasan bakal terus membuat pemimpin negara-negara Barat frustrasi, khususnya karena kerap berkaitan dengan kebijakan luar negeri.
Ambil contoh ketika belakangan ini Erdogan memblokir usaha Swedia dan Finlandia untuk menjadi anggota NATO. Penjegalan ini bukan tanpa alasan.
Erdogan menuntut negara Nordik itu untuk merepatriasi anggota Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang kabur dari Turki. Kelompok ini masuk daftar organisasi teroris pemerintah Turki.
Setelah lobi-lobi panjang dari sejumlah pemimpin negara Barat, Turki akhirnya memberi lampu hijau untuk Finlandia. Namun, masih menyalakan lampu merah bagi Swedia.
Masih terkait Kurdi, Turki juga terus berselisih dengan AS karena dukungan Negeri Paman Sam terhadap Kurdi di Suriah.
Sementara itu, kekalahan Erdogan berpotensi menguatkan demokrasi di Turki dan membuat tenang para pemimpin Barat.
Pesaing Erdogan, Kilicdaroglu, dianggap lebih “tunduk” kepada Barat. Sejumlah pengamat juga menilai Barat tak akan kesulitan mengendalikan dia.
Pengamat dari Institut Kajian Asia dari Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, Boris Dolgov, mengatakan arah politik Turki akan berubah dan cenderung mendekat ke Barat di bawah Kilicdaroglu.
Dolgov bahkan menduga Turki mungkin bisa mengikuti jejak negara lain yang menjatuhkan sanksi ke Rusia.
“Walau saya tak berpikir akan ada perubahan radikal dalam hubungan dengan Rusia, jika oposisi naik ke tampuk kekuasaan, keputusan bergabung dengan negara anti-Rusia bisa saja terjadi,” ucap dia, seperti dikutip TASS.
|Sumber: CNN Indonesia