ORINEWS.id – Sebagai salah satu perayaan keagamaan yang terpenting, Idul Fitri adalah salah satu hari raya yang diselenggarakan dengan istimewa di masa Kesultanan Iskandar Muda.
Amirul Hadi, pengajar UIN Ar-raniry Banda Aceh, dalam bukunya Islam and State in Sumatra; A Study of Seventeenth Century Aceh (2004) mencatat beberapa strategi kebudayaan yang dilakukan di masa kekuasaan Iskandar Muda di abad ke-17. Strategi itulah yang dicatat oleh sejarah sebagai penegas zaman keemasan yang pernah dialami oleh Kesultanan Aceh Darussalam.
Strategi kebudayaan yang pertama adalah budaya politik. Penyebutan kerajaan sebagai “Kesultanan” adalah sebuah strategi yang menegaskan wilayah kerajaan Aceh sebagai sebuah entitas politik Islam yang berdiri sendiri. Para pendiri Kesultanan Aceh adalah kongregasi atau kelompok-kelompok yang bersepakat untuk menggunakan istilah yang pertama kali digunakan oleh Dinasti Seljuk pada abad ke-11 M.
Inspirasi dari Salahuddin Al Ayyubi sampai ke Aceh bukanlah hal yang asing. Jika tulisan-tulisan Hamzah Fansuri disepakati sebagai salah satu yang tertua dari khasanah Aceh, maka pengaruh tarekat-tarekat ‘ketentaraan’ seperti Qadiriyah yang berkembang setelah masa Kesultanan Seljuk benar-benar telah menjadi salah satu kepemimpinan politik yang dominan.
Strategi berikutnya adalah budaya belajar atau intelektual. Kesultanan Aceh, jelas-jelas mengadopsi apa yang dicapai oleh Kerajaan Pasai. Saat Pemerintahan Sultan Husain (1571-1579), seorang ulama (scholar) bernama Muhammad Azhari datang dan mengajar di Aceh sampai dia meninggal. Di masa Sultan Ala ad Din Ri’ayat Syah (1579-1596) beberapa ulama berdatangan, mulai dari Syaikh Abu Al Khair Ibn Syaikh ibn Hajar, kemudian Syaikh Muhammad Yamani, hingga paman Ar-Raniry yang bernama Syaikh Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad.
Di abad ke-17 dalam periode keemasan Aceh inilah pemikiran Hamzah Fansuri mencapai puncak kebesarannya dalam ajaran-ajaran Syaikh Syamsuddin yang tercatat selalu mengiringi Sultan Iskandar Muda dalam berbagai kegiatannya.
Strategi penting selanjutnya adalah Budaya Seremonial. Salah satu prestasi Aceh di paruh awal abad 17 adalah kegiatan perayaan-perayaan penting dengan segala aturan dan perangkatnya. Seremoni atau perayaan yang dilakukan memiliki makna dan kegunaan yang berbeda-beda. Kegunaannya tergantung dari momentum yang ada.
Peristiwa politik memiliki perayaan tersendiri yang mampu memberikan pesan kebesaran kekuasaan. Sementara itu, peristiwa agama memiliki hal khusus yang bahkan Sultan Iskandar Muda sendiri, sebagai seorang raja “Melayu” yang sangat jarang membuka diri ke publik, harus memimpin sendiri perayaan itu.
Salat Jumat, Puasa Ramadan, Perayaan Idul Fitri, dan Perayaan Idul Adha adalah beberapa contoh yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa inilah muncul kegiatan perayaan agama yang bermula di istana dan berakhir di istana. Penguasa dan istana berada pada posisi sentral dari kegiatan-kegiatan agama terbesar.
Strategi yang paling penting dari semua itu adalah budaya kosmopolit dan toleransi. Kumpulan perundang-undangan dan beberapa riwayat yang dinamakan kitab Adat Aceh memuat berbagai hal yang menjadi dasar tumbuhnya budaya kosmopolit dan toleransi yang ada di zaman keemasan Aceh ini. Isi kumpulan perundangan ini mulai dari yang paling pokok perihal kekuasaan sultan, hingga organisasi istana.
Kemudian sebuah kronik tentang riwayat para penguasa Aceh dari semula. Catatan-catatan tentang berbagai upacara dan perayaan juga termasuk dalam kumpulan ini. Yang paling berguna untuk memajukan kebudayaan kosompolit adalah aturan tentang tata cara berhubungan dengan bangsa asing hingga pengaturan pajak hingga cukai yang menjadi salah satu pendapatan yang terbesar di zaman kesultanan ini.
Idul Fitri dalam Kitab Adat
Sebagai salah satu perayaan keagamaan yang terpenting, Idul Fitri adalah salah satu hari raya yang diselenggarakan dengan istimewa di masa Kesultanan Iskandar Muda. Kitab Adat Aceh menjelaskan dengan perincian sebagai berikut.
Perayaan dimulai dengan kedatangan Penghulu Bilal (ketua Muadzin) ke istana untuk meminta Tongkat Khutbah. Pemimpin iringan musik Keujren Geundrang mulai memukul gendang. Perkenan istana atas tongkat yang diminta, dikabulkan.
Petugas pembawa pedang pusaka menyembah kepada sultan dan memohon untuk membawa pusaka. Saat permintaan dikabulkan petugas itu membawa pusaka dengan diiringi rombongan pembesar istana sesuai dengan tingkat dan kedudukan menuju Balai Pedang.
Saat itulah, datang Qadi Malik al Adil (penghulu utama) menyembah pada sultan dan memintanya untuk berangkat ke masjid Bayt al-Rahman untuk melakukan Salat Ied. Genderang pun ditabuh kembali seiring sultan berjalan dengan diiringi segenap pengiringnya dan segenap alat perayaan yang ada.
Sultan dan para Tumenggung menggunakan kendaraan gajah. Dalam rombongan itu ikut serta pula rombongan para sufi, para syarif, atau habib, rombongan para imam, para khatib, para qari, para angham, dan diikuti oleh “santri-santri” yang mengucap takbir dan tahmid. Mereka berjalan kaki.
Saat rombongan mendekati masjid penghulu utama maju ke depan dan berdiri di sebelah kanan gerbang utama memberi penghormatan kepada sultan. Sultan memasuki masjid. Genderang pun ditabuh dengan iringan Ragam Siwajan. Sultan kemudian memasuki ruang pribadinya di masjid ditemani penghulu utama dan faqih seri rama faqih. Mereka kemudian memberi salam dengan mengucapkan Assalamu alaikum wa rahmat Allah ya daulat Makuta. (Makuta sebutan bagi sultan)
Mereka kemudian melakukan Salat Ied dengan sebelumnya melakukan salat sunat dua rakaat. Salat Ied yang mereka lakukan didahului dengan tujuh kali takbir di rakaat pertama dan lima kali takbir di rakaat kedua. Sejak zaman ini pun ketentuan Salat Ied sudah sama dengan yang ada sekarang ini.
|Sumber: Indonesia