Orinews.id|Banda Aceh – Belanda menyematkan julukan Aceh pungo (Aceh gila) setelah melihat perlawanan yang dilakukan para pejuang di Tanah Rencong. Dalam perang melawan penjajah, sebagian pejuang Aceh bertindak seorang diri dengan bermodalkan rencong.
Istilah Aceh Pungo muncul ketika penjajah Belanda mengirimkan pasukan elitnya ke Aceh pada 2 April 1890. Pasukan Marsose yang terdiri dari serdadu pilihan itu ditugaskan memburu pejuang Aceh hingga ke pelosok-pelosok.
Para tentara penjajah disebut membunuh pejuang Aceh yang ditemukan atau setidaknya diasingkan ke luar Tanah Rencong. Penjajah Belanda disebut melakukan cara-cara kekerasan dengan tujuan agar rakyat atau pejuang Aceh menjadi takut.
Namun hal yang terjadi di luar dugaan. Nyali pejuang Aceh bukannya menciut tapi semakin menggelora untuk berperang. Pejuang Aceh menyebut perang melawan Belanda dengan istilah perang melawan kafir atau prang poh kafe. Sementara Belanda menggunakan istilah Atjeh Moorden (pembunuhan khas Aceh).
“Di sini para pejuang Aceh tidak lagi melakukan peperangan secara bersama-sama atau berkelompok, tetapi secara perseorangan. Dengan nekat seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda apakah ia serdadu, orang dewasa, perempuan atau anak-anak sekalipun menjadi sasaran untuk dibunuh. Dan tindakan pembunuhan nekat ini dilakukan di mana saja di jalan, di pasar, di taman-taman atau pun pada tangsi-tangsi sendiri,” tulis Essi Hermaliza dalam booklet Aceh Pungo: Karakter Dibalik Istilah Provokatif (2014) seperti dikutip detikSumut, Minggu (12/2/2023).
Dalam booklet yang diterbitkan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh itu dituliskan, pembunuhan khas Aceh itu antara tahun 1910-1921 Masehi telah terjadi sebanyak 79 kali. Peristiwa itu menyebabkan jatuhnya korban di pihak Belanda sebanyak dua belas orang mati dan 87 orang luka-luka. Sedangkan di pihak Aceh sebanyak 49 orang gugur.
“Pembunuhan nekat yang dilakukan rakyat Aceh tersebut menyebabkan para pejabat Belanda yang akan ditugaskan ke Aceh berpikir berkali-kali. Dan ada di antara mereka yang tidak mau mengikutsertakan keluarganya (anak-istri) bila bertugas ke Aceh. Malahan ada yang memulangkannya ke negeri Belanda. Para pejabat Belanda di Aceh selalu membayangkan dan memikirkan bahaya Atjeh Moorden tersebut,” tulis Essi.
Para tentara Belanda itu tidak habis pikir, bagaimana hanya dengan seorang saja dan bersenjata rencong yang diselipkan dalam selimut atau baju, para pejuang Aceh berani melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda, bahkan pada tangsi-tangsi Belanda sekalipun.
“Oleh karena itu, ada di antara orang Belanda yang menyatakan perbuatan itu ‘gila’ yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang waras, maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda yang menyebutnya Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian populer dengan sebutan Aceh Pungo (Aceh Gila),” lanjutnya.
Pihak Belanda tidak sanggup memikirkan tindakan Rakyat Aceh sehingga mereka melakukan penelitian psikologis. Dalam penelitian yang melibatkan Dr. R.H. Kem, penasihat pemerintah untuk urusan kebumiputraan dan Arab, itu menyimpulkan aksi yang dilakukan pejuang Tanah Rencong termasuk dalam gejala-gejala sakit jiwa.
Berdasarkan penelitian itu, Belanda menyimpulkan banyak orang sakit jiwa di Aceh sehingga Pemerintah Hindia Belanda mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Dr. Latumeten ditunjuk menjadi kepala rumah sakit tersebut (1931-1935 masehi).
Latumeten melakukan penelitian terhadap pelaku pembunuhan khas Aceh yang diduga sakit jiwa oleh Belanda. Hasil penelitian itu menunjukkan fakta sebaliknya.
“Hasil penelitian Dr. Latumenten tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku itu adalah orang-orang normal. Dan yang mendorong mereka melakukan perbuatan nekad tersebut adalah karena sifat dendam kepada Belanda yang dimiliki yaitu tueng bila (balas dendam),” tulisnya.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengubah pola penanganan terhadap Aceh. Mereka mengambil kebijakan baru yang dikenal dengan nama politik pasifikasi yang merupakan kelanjutan gagasan yang dicetuskan oleh C. Snouck Hurgronje.
Penjajah Belanda kemudian memakai cara-cara yang dapat menimbulkan simpati rakyat ketimbang mengandalkan kekerasan. Perang Belanda dengan Aceh disebut memakan banyak korban jiwa di kedua pihak.
“Pungo-nya orang Aceh ditunjukkan dalam sejarahnya yang heroik. Betapa daerah ini tidak pernah menyerah di hadapan penjajah sepanjang sejarah kolonialisme. Konon Aceh dengan kegilaannya adalah satu-satunya kawasan Hindia-Belanda yang tidak takluk pada kompeni. Oleh sebab itu, Soekarno menjadikan Aceh sebagai bukti bahwa Indonesia masih tetap berdaulat. Itu pula alasannya mengapa Aceh disebut sebagai daerah modal. Ternyata pungo-nya orang Aceh telah menjadi modal kedaulatan bagi Indonesia,” tulis Essi.
|Sumber: detiksumut