Orinews.id|Banda Aceh – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mempertanyakan perkembangan kasus korupsi pembangunan monumen Samudera Pase yang sudah lama sejak penyelidikan sampai pada tahap penyidikan, sehingga tidak ada titik terang terhadap kepastian hukum dalam kasus tersebut.
“Publik jadi bertanya sampai dimana sudah kasusnya, maka MaTA patut mempertanyakan perkembangan kasusnya dengan menganalisis dalam beberapa bentuk catatan penting terhadap kasus tersebut,” kata Koordinator MaTA, Alfian dalam keterangannya kepada media ini, Kamis (9/2/2023).
Berdasarkan catatan MaTA, pertama, kasus ini mulai dilakukan lidik oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhoksukon pada bulan Mei 2021 lalu, yang kemudian menetapkan 5 tersangka yang diduga terlibat dalam pembagunan monumen Samudera Pase tersebut.
Kedua, sebut Alfian, ketidakpastian hasil audit kerugian keuangan negara, pihak kejari pada awalnya meminta audit investigasi kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh. Pada saat itu pihak BPKP tidak bisa menindaklanjuti atas permintaan Kejari karena berkas yang diserahkan belum mencukupi atau standar audit, sehingga pihak BPKP saat itu memberi catatan untuk dilengkapi berupa dokumen oleh Kejari.
“Kemudian pihak Kejari menyatakan ke publik semua dokumen sudah mereka serahkan semua. Dan saat itu pihak Kejari dengan BPKP Aceh sempat saling cleam tentang dokumen atau objek yang mau di audit. Kemudian berakhir pada kesimpulan, Kejari menghentikan permintaan audit ke BPKP dan selanjutnya permintaan audit diminta kepada tenaga ahli untuk melakukan audit dari salah satu kampus yang berada di luar Pulau Sumatera dan itu belum ada kejelasan sampai sekarang sudah sejauh mana perkembangannya,” ujarnya.
Ketiga, kata Alfian, kelima tersangka sudah dilakukan penahanan sejak 1 November 2021 sampai 20 November 2021 (20 hari), kemudian diperpanjang pada 21 November 2022 sampai 30 Desember 2022 (40 hari). Selanjutnya terjadi perpanjangan tahanan pada 31 Desember 2022 sampai 29 Januari 2023 (30 hari) dan terakhir terjadi keempat kalinya perpanjangan tahanan terhadap tersangka dari 30 Januari 2023 sampai 28 Februari 2023 (30 hari).
“Pertanyaan kita kemudian, apakah Pengadilan Negeri memiliki rencana perpanjangan masa tahan kembali?, dalam penanganan kasus korupsi dengan pengalaman kami selama ini dalam melakukan monitoring terhadap peradilan, baru kasus ini yang sangat berlarut penanganannya dan kita juga mempertanyakan motifnya apa?,” tanyanya.
Keempat, lanjut Alfian, penanganan kasus ini oleh Kejari Lhoksukon telah berlangsung sejak Mei 2021 sampai dengan hari ini Februari 2023. Artinya, dalam satu kasus Kejari sudah menggunakan DIPA APBN selama 3 tahun berturut tapi kasusnya masih tidak ada perkembangan.
Kemudian kelima, tegasnya, MaTA meminta secara tegas bahwa kasus ini sudah saatnya untuk diambil alih oleh pihak Kejati Aceh.
“Dan kita juga mempertanyakan, apakah Jamwas Kejagung tidak melakukan evaluasi terhadap penyidikan kasus tersebut yang terus menerus selama 3 tahun menggunakan anggaran APBN sementara kasusnya tidak ada perkembangan?,” tanya Alfian lagi.
Terakhir keenam, kata dia, MaTA meminta dalam penanganan kasus tersebut, pihak Kejaksaan benar benar memiliki prinsip transparansi, akuntabilitas dan menjunjung tinggi integritas sehingga kepercayaan publik terhadap kinerja Kejaksaan kembali kuat.
“Dan kami percaya, publik juga dapat mengawasi proses penanganan kasus korupsi ini secara aktif,” tutup Alfian, Koordinator MaTA itu.
|Editor: Awan